Sunday, July 5, 2020

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung


Kerendahan Hati

Bacaan I Za 9:9-10
Mazmur Tanggapan Mzm 145:1-2.8-9.10-11.13cd-14
Bacaan II Rom 8:9.11-13
Bacaan Injil Mat 11:25-30

Saudara saudari yang terkasih,
kita mungkin pernah bertemu dengan orang yang sok tahu, berlagak punya pengetahuan luas dan lengkap, hingga tak butuh belajar. Padahal orang komentar, ia tak tahu apa-apa bahkan ia juga tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Ada orang yang sungguh tahu banyak bagai ensiklopedia hidup, ditanya apapun ia menjawab, dan kita tambah kagum apabila ia rendah hati dan selalu mau belajar. Orang yang mengaku tahu banyak, atau sungguh tahu tapi merasa sempurna, biasanya tak perlu merasa harus belajar, apalagi diajar orang. Orang ini biasanya tidak mau terbuka pada pihak lain, juga kepada Allah. Jika berdoa, mungkin orang ini menceritakan pengetahuannya yang tinggi, yang luas dan kesuksesan hidupnya yang besar, banyak, seperti perumpamaan tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai pada Lukas 18:9-14. Orang Farisi dalam doanya menguraikan kesuksesannya sedangkan pemungut cukai berdoa menunduk dan berkata, “Tuhan kasihanilah aku”. Yesus membenarkan pemungut cukai itu.

Saudara saudari yang terkasih,
ada ilustrasi, seorang terpelajar mendatangi Guru Rohani meminta nasehat. Ia memperkenalkan diri dengan menceritakan siapa dirinya. Guru itu mengangguk-angguk kagum akan prestasi dan deretan kesuksesan yang ia perkenalkan diri. Lalu Sang Guru itu menuangkan teh pada cangkir, teh mahal, ia tak henti menuangkan air teh itu karena kagumnya, terpana, hingga luber, pada pisin dan akhirnya pada meja. Orang terpelajar itu berhenti, “Guru lihat! Teh itu terbuang, sayang, sudah penuh!” Guru itu menjawab, “kamu membuang-buang waktu datang ke sini, otakmu sudah penuh, hatimu sudah jenuh, tak perlu nasehat rohani apapun, percuma datang ke sini, akan terbuang seperti teh yang mahal ini!”

Saudara saudari yang terkasih,
Yesus bersyukur kepada Allah karena misteri Allah Tritunggal, yang hari ini bagiannya adalah kesatuan Bapa dan Putra, disembunyikan pada orang bijak dan pandai, yang pada waktu itu adalah kaum Farisi, Ahli Taurat, para Imam, Tua-Tua Yahudi yang merasa pengetahuan imannya sudah penuh, lengkap dan pengalaman imannya sudah jenuh, tinggal menantikan Mesias dan mengajar orang. Yang disembunyikan itu adalah kesatuan Bapa dan Putera yang merupakan bagian dari Tritunggal, “tak seorangpun akan tahu Bapa selain Putra dan tak seorangpun tahu Putra selain Bapa, kecuali kepada dia yang dinyatakan oleh Putra”. Kesempurnaan semu ini membuat mereka tertutup pada karya Roh Kudus, dan tak punya ruang lagi bagi Allah dan misteriNya. Mereka menolak Yesus serta apa yang diajarkan dan dikerjakanNya. Mereka berkata menantikan Mesias, tetapi karena ketertutupannya pada karya Roh tak ada ruang lagi. Mereka tidak melihat bahwa yang di hadapannya itu adalah Mesias yang dinantikannya. Maka jika misteri ini dinyatakan pada mereka, mungkin mereka menyalahgunakan misteri itu untuk kepentingan dan kedudukannya, bukan  untuk keselamatannya. Mereka biasa memanipulasi pengetahuan Kitab Suci, pengalaman tradisi dan ketentuan hukum bagi status quonya, bagi kedudukannya. Konteks Injil hari ini kalau kita baca seluruhnya sebelumnya, Yesus mengecam kota-kota yang tidak bertobat, yang menolak Yesus padahal di sana banyak membuat mukjizat, Khorazim, Betsaida, Kafernaum, tetapi mereka merasa sebagai kaum bijak dan pintar yang tertutup hatinya pada Tuhan. Maka Yesus pada perikop itu mengatakan, “seandainya mukjizat ini terjadi di Sodom dan Gomora, mereka sudah bertobat dan kalian tidak bertobat, malah menolak Aku”. Namun Allah menyatakan misteri itu kepada orang kecil, orang kecil ini disebutnya anak kecil sebetulnya, bayi, yaitu orang yang diajari, diberi tahu apapun mau, disuruh mangap, a, mangap, disuruh minum, mimik,  minum, disuruh bobok, bobok, ditimang-timang, itulah hati orang kecil, anak atau bayi, yang mempunyai keterbukaan pada karya Roh dan punya ruang pada Allah, Itulah pemungut cukai dan pelacur yang bertobat, umat sederhana yang mengikuti Yesus, nelayan, kaum terhormat bahkan yang pintar, yang kedudukannya tinggi seperti Nikodemus, Yusuf Arimatea, yang terbuka pada Yesus, bahkan tiga orang Majus yang mempersembahkan barang-barang yang berharga turun dari tahtanya untuk bertemu dengan Sang Raja, memberi hormat pada Yesus. Maka yang disembunyikan bukan soal pintar otaknya, tetapi orang yang tidak mempunyai kerendahan hati dan keterbukaan kepada Allah.

Saudara saudari yang terkasih,
setelah kita mengimani dan mengikuti Yesus, apa yang kita alami? Apakah ada ketenangan seperti yang dijanjikan oleh Yesus, “pikullah kuk yang Kupasang, dan belajarlah padaKu karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Kalau belum mengalami ketenangan, mungkin kita belum mau sungguh belajar dari Yesus. Iman dan Injil bukan soal kepala, tetapi soal hati, bukan soal kepintaran, tetapi soal kerendahan hati. Orang boleh punya kepintaran setinggi apapun, seperti orang-orang bijak Majus, Nikodemus, tetapi mempunyai kerendahan hati, ajaran dan ajakan Yesus itu enak, cocok bagi masing-masing orang yang berbeban. Landasannya jelas dan tegas, kasih. Prakteknya disesuaikan dengan fungsi dan jati diri masing-masing. Kalau kita terbuka pada karya Roh Kudus dan memberi ruang pada Allah, hingga percaya pada Allah Tritunggal serta karya misteriNya, kita akan hidup berdasarkan kasih karena Allah adalah kasih. Paulus berkata, “barang siapa tidak memiliki Kristus, ia bukan milik Kristus, maka hidupnya pun tidak seperti yang diharapkan oleh Kristus. Maka apapun fungsi dan siapapun jati diri kita, ketika kita rendah hati. Maka Mazmur hari ini ayatnya berkata, “Tuhan itu baik kepada semua orang, penuh rahmat terhadap pada segala yang dijadikan”. Tetapi Yesus berkata, “bersyukur engkau tidak dinyatakan kepada orang yang kepalanya besar, tetapi yang hatinya lebar”.
Ada seorang ahli genetika luar biasa di Amerika berusia 70 tahun sekarang, bernama Francis Collins. Terkenal berkat berbagai penemuan tentang gen-gen penyakit dan kepemimpinannya pada Human Genome Project dan banyak lembaga terkenal, tetapi ia mengaku ateis, tak percaya pada Tuhan, berpikir semua realitas, bisa dijelaskan secara rasional tanpa Allah, yang penting berbuat baik, sukses dan tidak berbuat jahat. Apakah ia mengalami ketenangan? Sampai pada suatu hari di musim dingin, ia berjalan-jalan ke Cascade Mountain, dan melihat pemandangan yang menakjubkan, ada air terjun yang beku. Dia terpana, air terjun beku, dia terpana dan melihat itulah kebekuan hatinya terhadap karya dan misteri Allah yang dipercayakan kepadanya. Ia termenung, kebekuan itu adalah hatinya yang tertutup pada Allah. Ia bertobat dan percaya pada Tuhan dan kemudian menulis buku, The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief. Bahasa Allah : Ilmuwan memberikan bukti untuk percaya. Dan ia menyatakan, penemuan-penemuan ilmiah adalah kesempatan untuk mencari dan memuji Allah. Di situlah hatinya mengalami ketenangan. Itulah pengalaman Santo Agustinus, yang pintar luar biasa, tetapi hidupnya tidak tenang, mengembara sampai ia bertobat dan ia berkata, “Engkau telah menciptakan kami bagi diriMu, ya Allahku, dan hati kami tiada tenang sebelum beristirahat dalam Dikau”. Orang kecil dalam Injil, saudara saudari, kiranya adalah orang yang terbuka pada Roh Kudus dan masih memiliki ruang bagi Allah. Apapun statusnya, siapapun dia, kaya, sederhana, pintar ataupun biasa-biasa saja, hingga ia percaya dan mengalami ketenangan. Entah siapakah kita.
Siapa tahu, orang kecil yang rendah hati, yang masih mempunyai hati yang terbuka pada Roh itu adalah kita yang terbuka pada Roh Allah dan kita akan mengalami ketenangan.

3 Juli 2020 Hari Raya Santo Thomas


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Pesta Santo Tomas 3 Juli 2020
Gereja St Petrus Katedral Bandung


Tidak Melihat Namun Percaya

Bacaan I Ef 2:19-22
Mazmur Tanggapan Mzm 117:1.2
Bacaan Injil Yoh 20:24-29

Saudara saudari yang terkasih,
kiranya wajar kalau kita mencari bukti nyata dalam hidup sehari-hari. Ada keraguan, apalagi kalau pernah berhadapan dengan orang yang berjanji tetapi tak mampu memberi bukti, atau orang yang berjanji tetapi sengaja ingkar janji, atau malah ada orang yang berjanji dengan maksud mengelabui. Hal ini juga dipengaruhi oleh pendidikan sejak kecil, di mana pengetahuan ilmiah yang memberi bukti fisik yang bisa ditangkap oleh lima panca indra dan masuk dalam tatanan rasional serta kalkulasi matematis selalu diunggulkan, IPA, A1. Walau demikian ternyata tidak semua kenyataan dan kebenaran bisa dibuktikan secara ilmiah dalam perspektif rasional, kita membutuhkan wilayah lain, yang menggunakan perspektif spiritual.

Sebagai ilustrasi seorang anak ditunggui ayahnya belajar, karena sering main game. Selama ayahnya duduk sambil membaca, anaknya juga turut membaca di situ. Waktu ayahnya pergi ke toilet, anak itu langsung mengambil gadgetnya dan main game sebentar, karena tahu ayahnya tidak ada.  Waktu bunyi flash air toilet berbunyi, anaknya segera mengambil buku lagi, ayahnya masuk dan ayahnya lihat, senyum, senang, karena melihat anaknya sedang membaca buku. Orang melihat ada atau tidak, kalau ada berarti ada, kalau tidak ada berarti tidak ada.

Pernah juga ada ilustrasi cerita seorang guru bertanya kepada anak-anak,
“anak-anak ini apa?”
“Apel”, katanya di negara lain, lalu guru berkata,
“apel sekarang, apel ada tidak?”
“Ada”.
“Apel ada, karena ada”.
Lalu dia tanya,
“Tuhan, mana Tuhan? Siapa yang percaya pada Tuhan?”
Semua anak diam, satu orang tunjuk jari, percaya kepada Tuhan.
Dia bilang,
“tunjukkan Tuhan di mana?”
“Ya… tidak bisa saya tunjukkan, tapi saya percaya!”
“Kalau tidak ada - tidak ada, ada - ada. Apel ada tidak?”
“Ada”.
“Maka tunjukkan Tuhan!”
Lalu anakk itu berkata,
“Ibu guru, tunjukkan otak ibu guru! Ada di mana? Kalau tidak ada, berarti tidak ada otaknya, Bu!”

Saudara saudari yang terkasih,
Tomas yang jengkel karena tidak bertemu dengan Yesus yang bangkit, seperti diceritakan oleh teman-temannya mempertanyakan penglihatan mereka, mungkin ia berkata, “apakah bukan ilusi dan halusinasi, yang engkau dan kalian lihat itu?” Dengan membela diri bahwa ia akan percaya, wajar, kalau melihat dan menyentuh Yesus. Bisa jadi Tomas sebetulnya berpikir bahwa Yesus sungguh bangkit, karena terjadi perubahan luar biasa dalam diri teman-temannya, ada kasih, ada sukacita, damai sejahtera, buah-buah Roh, tiga buah Roh pertama. Jadi Tomas juga sudah heran, “tidak mungkin terjadi perubahan besar dalam diri teman-teman saya kalau tidak terjadi sesuatu”. Maka Tomas pun sebetulnya bisa jadi berpikir, “rasa-rasanya Yesus sungguh bangkit, karena teman-teman saya hebat”. Yesus datang kembali, padahal pintu yang bisa diraba dan dilihat terkunci. Logika rasional runtuh, tak masuk akal, maka logika spiritual dan masuk wilayah iman. Apalagi Yesus memberi damai sejahtera kepada Tomas yang meragukanNya. Yesus tak menghakimi Tomas, Yesus tidak mengadili Tomas, “Tomas, mengapa engkau tidak percaya, mengapa engkau ragu-ragu?”  Tidak! Tetapi Yesus berbelas kasih membimbing Tomas, “taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tanganKu. Ulurkanlah tanganmu dan cucukkanlah ke dalam lambungKu. Jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah!” Mendengar itu Tomas langsung percaya, ini persis ciri Yesus dulu. Pasti ini sungguh Yesus, bahkan dia bukan sekedar Tuhan Yesus yang bangkit, tetapi Allah sendiri. Dan Tomas pun berseru, “ya Tuhanku dan Allahku!” Inilah pengakuan dan ajaran iman yang menjadi seluruh tujuan Injil Yohanes dari awal sampai akhir, baru kali ini Yesus dinyatakan sebagai Allahku. Putra Allah, pribadi yang kedua. Dari mulut Tomas terungkap iman para rasul, iman gereja, wahyu ilahi bahwa Yesus adalah Tuhan, manusia dan Allah, Anak Allah. Di atas Yesus inilah berdiri Gereja sebagai batu penjurunya, di atas situ ada bangunan, ada para Rasul sebagai fondasi lain. Yesuspun memberkati Tomas dan juga kita semua, bukan membuat dikotomi, Tomas yang melihat tidak dikatakan bahagia, lalu yang tidak melihat bahagia, tidak! Sebetulnya bukan dikotomi, Tomas pun diberkati dengan kata lain, berbahagialah Tomas karena engkau melihat, engkau percaya, maka berbahagialah semua yang melihat Yesus dan percaya. Lalu berbahagialah mereka yang tidak melihat, kita semua, tidak melihat Yesus secara fisik dan percaya.

Saudara saudari yang terkasih,
ada orang yang tak percaya pada Tuhan karena berpikir bahwa Kitab Suci dan ajaran agama tak masuk akal. Apalagi melihat kelakuan orang yang beragama. Prinsipnya ada – tidak, lihat - tidak. Ada juga orang yang pindah agama karena merasa agama lain lebih rasional atau paling rasional. Bisa saja ada di antara kita juga yang sedang mengalami keraguan, karena pengalaman tertentu yang dipengaruhi oleh penglihatan, perabaan, apa yang ada - ada, yang tidak ada - tidak ada, padahal iman mengatasi itu. Maka berkata, “apakah Tuhan sungguh ada? Apakah Yesus itu Tuhan dan Allah? Karena tak mampu melihat bukti seperti yang diharapkan, doa terkabul, terkabul atau tidak. Iman dalam logika spiritual berbeda dengan pengetahuan dalam logika rasional. Iman dan rasio tidak bertentangan, tetapi berjalan berdampingan. Iman mendorong orang untuk makin mencari tahu, apa dan bagaimana realitas sebenarnya dan pengetahuan mendorong kita untuk makin mengimani mengapa saya berada dalam realitas tertentu, mengapa saya hidup begini, apa tujuan dan makna hidup saya? Pandemi covid19 bisa dijelaskan secara ilmiah, apa dan bagaimana, tetapi maknanya, “mengapa saya sekarang berada di keadaan seperti ini? Mengapa saya kok menerima akibatnya?” Hanya bisa dipahami secara imaniah, “Tuhan mau berbicara apa pada saya, pada keluarga, pada Gereja, pada Negara dan pada dunia ini?” Kiranya pengalaman pandemi ini bisa mengantar kita pada pengakuan iman seperti Tomas, “ya Tuhanku dan Allahku”. Marilah, bukan berhenti pada pengakuan iman saja, tetapi lalu apa yang harus kita lakukan.

30 Juni 2020 Selasa Pekan Biasa XIII



5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...