Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung
Kerendahan Hati
Bacaan I Za 9:9-10
Mazmur Tanggapan Mzm 145:1-2.8-9.10-11.13cd-14
Bacaan II Rom 8:9.11-13
Bacaan Injil Mat 11:25-30
Saudara saudari yang terkasih,
kita mungkin pernah bertemu dengan orang yang sok tahu, berlagak punya pengetahuan luas dan lengkap, hingga tak butuh belajar. Padahal orang komentar, ia tak tahu apa-apa bahkan ia juga tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Ada orang yang sungguh tahu banyak bagai ensiklopedia hidup, ditanya apapun ia menjawab, dan kita tambah kagum apabila ia rendah hati dan selalu mau belajar. Orang yang mengaku tahu banyak, atau sungguh tahu tapi merasa sempurna, biasanya tak perlu merasa harus belajar, apalagi diajar orang. Orang ini biasanya tidak mau terbuka pada pihak lain, juga kepada Allah. Jika berdoa, mungkin orang ini menceritakan pengetahuannya yang tinggi, yang luas dan kesuksesan hidupnya yang besar, banyak, seperti perumpamaan tentang doa orang Farisi dan pemungut cukai pada Lukas 18:9-14. Orang Farisi dalam doanya menguraikan kesuksesannya sedangkan pemungut cukai berdoa menunduk dan berkata, “Tuhan kasihanilah aku”. Yesus membenarkan pemungut cukai itu.
Saudara saudari yang terkasih,
ada ilustrasi, seorang terpelajar mendatangi Guru Rohani meminta nasehat. Ia memperkenalkan diri dengan menceritakan siapa dirinya. Guru itu mengangguk-angguk kagum akan prestasi dan deretan kesuksesan yang ia perkenalkan diri. Lalu Sang Guru itu menuangkan teh pada cangkir, teh mahal, ia tak henti menuangkan air teh itu karena kagumnya, terpana, hingga luber, pada pisin dan akhirnya pada meja. Orang terpelajar itu berhenti, “Guru lihat! Teh itu terbuang, sayang, sudah penuh!” Guru itu menjawab, “kamu membuang-buang waktu datang ke sini, otakmu sudah penuh, hatimu sudah jenuh, tak perlu nasehat rohani apapun, percuma datang ke sini, akan terbuang seperti teh yang mahal ini!”
Saudara saudari yang terkasih,
Yesus bersyukur kepada Allah karena misteri Allah Tritunggal, yang hari ini bagiannya adalah kesatuan Bapa dan Putra, disembunyikan pada orang bijak dan pandai, yang pada waktu itu adalah kaum Farisi, Ahli Taurat, para Imam, Tua-Tua Yahudi yang merasa pengetahuan imannya sudah penuh, lengkap dan pengalaman imannya sudah jenuh, tinggal menantikan Mesias dan mengajar orang. Yang disembunyikan itu adalah kesatuan Bapa dan Putera yang merupakan bagian dari Tritunggal, “tak seorangpun akan tahu Bapa selain Putra dan tak seorangpun tahu Putra selain Bapa, kecuali kepada dia yang dinyatakan oleh Putra”. Kesempurnaan semu ini membuat mereka tertutup pada karya Roh Kudus, dan tak punya ruang lagi bagi Allah dan misteriNya. Mereka menolak Yesus serta apa yang diajarkan dan dikerjakanNya. Mereka berkata menantikan Mesias, tetapi karena ketertutupannya pada karya Roh tak ada ruang lagi. Mereka tidak melihat bahwa yang di hadapannya itu adalah Mesias yang dinantikannya. Maka jika misteri ini dinyatakan pada mereka, mungkin mereka menyalahgunakan misteri itu untuk kepentingan dan kedudukannya, bukan untuk keselamatannya. Mereka biasa memanipulasi pengetahuan Kitab Suci, pengalaman tradisi dan ketentuan hukum bagi status quonya, bagi kedudukannya. Konteks Injil hari ini kalau kita baca seluruhnya sebelumnya, Yesus mengecam kota-kota yang tidak bertobat, yang menolak Yesus padahal di sana banyak membuat mukjizat, Khorazim, Betsaida, Kafernaum, tetapi mereka merasa sebagai kaum bijak dan pintar yang tertutup hatinya pada Tuhan. Maka Yesus pada perikop itu mengatakan, “seandainya mukjizat ini terjadi di Sodom dan Gomora, mereka sudah bertobat dan kalian tidak bertobat, malah menolak Aku”. Namun Allah menyatakan misteri itu kepada orang kecil, orang kecil ini disebutnya anak kecil sebetulnya, bayi, yaitu orang yang diajari, diberi tahu apapun mau, disuruh mangap, a, mangap, disuruh minum, mimik, minum, disuruh bobok, bobok, ditimang-timang, itulah hati orang kecil, anak atau bayi, yang mempunyai keterbukaan pada karya Roh dan punya ruang pada Allah, Itulah pemungut cukai dan pelacur yang bertobat, umat sederhana yang mengikuti Yesus, nelayan, kaum terhormat bahkan yang pintar, yang kedudukannya tinggi seperti Nikodemus, Yusuf Arimatea, yang terbuka pada Yesus, bahkan tiga orang Majus yang mempersembahkan barang-barang yang berharga turun dari tahtanya untuk bertemu dengan Sang Raja, memberi hormat pada Yesus. Maka yang disembunyikan bukan soal pintar otaknya, tetapi orang yang tidak mempunyai kerendahan hati dan keterbukaan kepada Allah.
Saudara saudari yang terkasih,
setelah kita mengimani dan mengikuti Yesus, apa yang kita alami? Apakah ada ketenangan seperti yang dijanjikan oleh Yesus, “pikullah kuk yang Kupasang, dan belajarlah padaKu karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Kalau belum mengalami ketenangan, mungkin kita belum mau sungguh belajar dari Yesus. Iman dan Injil bukan soal kepala, tetapi soal hati, bukan soal kepintaran, tetapi soal kerendahan hati. Orang boleh punya kepintaran setinggi apapun, seperti orang-orang bijak Majus, Nikodemus, tetapi mempunyai kerendahan hati, ajaran dan ajakan Yesus itu enak, cocok bagi masing-masing orang yang berbeban. Landasannya jelas dan tegas, kasih. Prakteknya disesuaikan dengan fungsi dan jati diri masing-masing. Kalau kita terbuka pada karya Roh Kudus dan memberi ruang pada Allah, hingga percaya pada Allah Tritunggal serta karya misteriNya, kita akan hidup berdasarkan kasih karena Allah adalah kasih. Paulus berkata, “barang siapa tidak memiliki Kristus, ia bukan milik Kristus, maka hidupnya pun tidak seperti yang diharapkan oleh Kristus. Maka apapun fungsi dan siapapun jati diri kita, ketika kita rendah hati. Maka Mazmur hari ini ayatnya berkata, “Tuhan itu baik kepada semua orang, penuh rahmat terhadap pada segala yang dijadikan”. Tetapi Yesus berkata, “bersyukur engkau tidak dinyatakan kepada orang yang kepalanya besar, tetapi yang hatinya lebar”.
Ada seorang ahli genetika luar biasa di Amerika berusia 70 tahun sekarang, bernama Francis Collins. Terkenal berkat berbagai penemuan tentang gen-gen penyakit dan kepemimpinannya pada Human Genome Project dan banyak lembaga terkenal, tetapi ia mengaku ateis, tak percaya pada Tuhan, berpikir semua realitas, bisa dijelaskan secara rasional tanpa Allah, yang penting berbuat baik, sukses dan tidak berbuat jahat. Apakah ia mengalami ketenangan? Sampai pada suatu hari di musim dingin, ia berjalan-jalan ke Cascade Mountain, dan melihat pemandangan yang menakjubkan, ada air terjun yang beku. Dia terpana, air terjun beku, dia terpana dan melihat itulah kebekuan hatinya terhadap karya dan misteri Allah yang dipercayakan kepadanya. Ia termenung, kebekuan itu adalah hatinya yang tertutup pada Allah. Ia bertobat dan percaya pada Tuhan dan kemudian menulis buku, The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief. Bahasa Allah : Ilmuwan memberikan bukti untuk percaya. Dan ia menyatakan, penemuan-penemuan ilmiah adalah kesempatan untuk mencari dan memuji Allah. Di situlah hatinya mengalami ketenangan. Itulah pengalaman Santo Agustinus, yang pintar luar biasa, tetapi hidupnya tidak tenang, mengembara sampai ia bertobat dan ia berkata, “Engkau telah menciptakan kami bagi diriMu, ya Allahku, dan hati kami tiada tenang sebelum beristirahat dalam Dikau”. Orang kecil dalam Injil, saudara saudari, kiranya adalah orang yang terbuka pada Roh Kudus dan masih memiliki ruang bagi Allah. Apapun statusnya, siapapun dia, kaya, sederhana, pintar ataupun biasa-biasa saja, hingga ia percaya dan mengalami ketenangan. Entah siapakah kita.
Siapa tahu, orang kecil yang rendah hati, yang masih mempunyai hati yang terbuka pada Roh itu adalah kita yang terbuka pada Roh Allah dan kita akan mengalami ketenangan.
No comments:
Post a Comment