Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Hari Minggu Biasa XII 21 Juni 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung
video : Minggu Biasa XII 21 Juni 2020
Bacaan I Yer 20:10-13
Mazmur Tanggapan 69:8-10.14.17.33-35
Bacaan II Rom 5:12-15
Bacaan Injil Mat 10:26-33
Saudara saudari yang terkasih,
setiap orang pernah mengalami ketakutan dengan
berbagai alasan yang berbeda-beda. Ada orang yang mengalami fobia, yaitu rasa
takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang tak langsung mengancam hidupnya. Misalnya,
ada orang tinggi besar, berotot, berkumis, berkendaraan motor besar, bisa lari
terbirit-birit melihat tikus lewat. Orang anggun, halus, lemah lembut, bisa
mengumpat kasar dan berteriak histeris saat didekati oleh kecoa. Melihat itu kita
tertawa, tapi kalau kita berada dalam situasi pengalaman traumatik, luka batin
orang tersebut, kita bisa memakluminya. Ada ketakutan subyektif, yaitu akibat
perasaan dan pengalaman tertentu di masa lampau. Ada juga ketakutan objektif karena
ada barang, ada orang, ada binatang, ada situasi yang mengancam hidupnya. Ketakutan
ini hilang jika objeknya disingkirkan, kalau ada sesuatu atau seseorang yang
lebih kuat, yang diandalkan, bisa mengatasi ketakutan tersebut.
Ada satu ilustrasi, ada kebakaran, di
tengah kegelapan asap dan panasnya api, seorang anak menangis di bibir jendela
apartemen di lantai lima. Tim penyelamat sibuk menyiapkan matras untuk
menyangga anak itu dan mereka berkata,
“Nak, loncat! Nak hayuk loncat!”
Kalau tidak, bisa mati kehabisan nafas
oleh asap dan bisa dilalap api. Anak itu melihat ada matras di bawah, tapi
makin keras ia menangis,
“takut!”
Dan suara mike pun makin sepi karena miris mendengar jeritan anak yang
memanggil,
“Bapa… Bapa… ke sini! Saya takut, Bapa!”
Tiba-tiba terdengar suara,
“loncat!!!”
Dan anak itu loncat dan selamat. Hanya
dengan satu kata ‘loncat!’ Semua orang heran, betapa wibawa dan kuasanya orang
ini menyuruh anak loncat. Sementara tadi banyak orang berteriak loncat, loncat,
tidak loncat tapi satu kata loncat dan loncat. Orang yang berkata itu segera
berlari mendekati matras dan memeluk anak itu. Ia adalah ayahnya. Walaupun anak
itu tidak melihat ayahnya ada di sana, ia kenal suara ayahnya. Mendengar suara
ayahnya yang mengasihinya, ‘loncat!’ Dan pasti kalau ayahnya berkata loncat, ayahnya
tahu bahwa anaknya akan selamat, tidak akan mencelakakannya. Itulah loncatan
iman yang mengatasi ketakutan.
Tidak seperti seorang ateis yang berlari-lari
lalu jatuh ke jurang. Waktu dalam perjalanan ke jurang, ada pohon di bibir
jurang dan ia berhasil menangkap, dan selamat. Tapi masalahnya, naik ke atas
tidak bisa, turun ke bawah mati. Tidak percaya pada Tuhan, dan ia berkata,
“Tuhan, saya tidak percaya padaMu, tapi
seandainya Engkau ada, tolong dan selamatkan aku!” Seandainya Engkau ada, dan
tiba-tiba ada suara,
“Aku ini Tuhan!”
“Betulkah?”
“Iya!”
“Tolong, Tuhan!”
“Baik, lepaskanlah tangan itu!”
“Gila kau Tuhan! Mati aku!”
Itulah ateis. Seorang yang percaya akan
langsung lepaskan, apa yang terjadi yakin Tuhan akan menyelamatkan.
Saudara saudari yang terkasih,
konteks Injil adalah perutusan para
murid, yang diutus seperti domba ke tengah serigala. Yesus meneguhkan para
murid untuk menjadi pribadi yang berintegritas, yaitu setia sebagai murid Yesus
di tengah ketidaknyamanan dan ancaman badani serta untuk menjadi pribadi yang
berhati nurani, yaitu setia pada panggilan suci di tengah berbagai godaan dan kenikmatan
untuk menikmati sesuatu, tetapi mengkhianati nilai-nilai Injil. Yesus meminta mereka
untuk tidak takut terhadap berbagai ancaman. Ada tiga hal - yang hari ini tidak
dibaca, tetapi konteksnya ada di belakang –
Pertama, jangan takut kepada ancaman
penganiayaan, yaitu ketidak nyamanan fisik dan psikis akibat difitnah, dengan hate speech ataupun hoax hingga mereka dibenci, dicaci bahkan disiksa. Kebenaran, kata
Yesus, yang selama ini tersembunyi akan dibuka, akan dibeberkan siapa yang akan
benar.
Kedua, jangan takut pada kematian, yaitu
lemahnya dan hancurnya tubuh, sebagai konsekuensi ketaatan menjalankan perintah
Tuhan. Ancaman dunia terbatas sedangkan kuasa Allah tidak terbatas, mengatasi
daya apapun di dunia. Ia dapat memusnahkan bukan hanya tubuh, tetapi Tuhan juga
dapat memusnahkan jiwa.
Ketiga, jangan takut terhadap pengalaman
luka, baik secara fisik maupun psikis, karena setia kepada hati nurani, karena
kita sangat berharga di hadapan Allah. Kalau burung pipit saja dipelihara,
apalagi manusia yang adalah Citra Allah. Keyakinan dan pengalaman akan Kasih Allah ini menumbuhkan loncatan
iman agar orang berani bertahan dalam integritas dan setia pada hati nurani. Kalau
melakukan apa yang diminta Tuhan, kita pasti selamat. Yeremia dalam Bacaaan Pertama,
menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan ketika mendapat ancaman, caci maki dan usaha
pembunuhan dari orang-orang yang membencinya. Akhirnya dinyatakan dan dibuka,
bagaimana kuasa Allah nyata. Jangan
kita minta Tuhan, tetapi tak percaya kuasaNya, seperti ateis tadi, sehingga terus
berteriak tanpa mau meloncat. Iman berarti percaya pada Kuasa dan Kasih Allah.
Saudara saudari yang terkasih,
di tengah pandemi covid19, pengalaman tak adil atau diperlakukan tidak adil,
kesulitan ekonomi, rasa nyeri karena penyakit, duka karena hate speech atau hoax dan
belum lagi ketidak nyamanan akibat keberanian memberi kesaksian iman dan
mewujudkan keyakinan, Yesus meneguhkan kita untuk tidak takut karena Kasih Allah
yang luar biasa kepada kita dan kuasaNya yang mengatasi segala kekuatan apapun.
Ia adalah Allah yang peduli, yang tidak akan membiarkan anak-anakNya menderita
tanpa alasan dan mati tanpa menghasilkan buah. Dalam situasi gelap Yesus
mengajak kita untuk percaya pada penyelenggaraan Ilahi yang bukan hanya peduli
pada badan, tetapi juga Ia peduli pada keselamatan jiwa kita.
Dalam hidup sehari-hari Yesus mengajak kita
untuk percaya akan Kasih Allah pada kita, yang sangat berharga melebihi segala
ciptaan apapun. Percaya pada kuasa dan penyelenggaraan Ilahi dan kasihNya ini
akan membuat kita hidup tanpa takut, di tengah situasi apapun, berhadapan dengan
siapapun. Yesus mengajar kita : jangan takut, loncat! Berbuatlah! Jangan
berdiam diri! Mari hadapi situasi, jangan diatur oleh keadaan, oleh ‘nasib’. Mari
mengatur situasi dan mengatur perjalanan hidup kita ke depan, sebagai pribadi yang
berintegritas dan berhati nurani. Apakah kita mau loncat, jika Tuhan meminta walau
kita tak tahu apa yang terjadi di sana? Tapi yakin Tuhan menghendaki kita untuk
selamat.
Itulah Abraham yang pergi dari daerah
nyamannya untuk pergi ke tempat yang tidak jelas, tetapi diminta oleh Tuhan, Ia
segera berangkat. Itulah Yeremia yang menghadapi kenyataan dengan penuh
kepasrahahan kepada Allah. Itulah contoh anak tadi dalam ilustrasi yang tidak
melihat bapanya tetapi yakin bapanya ada dan ia meloncat. Itulah kita,
seandainya kita berbuat sebagai pribadi yang berhati nurani dan berintegritas
terutama di situasi saat ini, normalitas baru.
No comments:
Post a Comment