Wednesday, May 6, 2020

22 Maret 2020 Minggu Prapaskah IV Th A/II


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Minggu Prapaskah IV 22 Maret 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung




Kebutaan Spiritual Membuat Orang tidak Melihat Allah

Bacaan I 1 Sam 16:1b.6-7.10-13a
Mazmur Tanggapan Mzm 23:1-3a.3b-4.5.6
Bacaan II Ef 5:8-14
Bacaan Injil Yoh 9:1-41

Saudara saudari yang terkasih,
salah satu organ tubuh yang banyak digunakan adalah mata untuk melihat. Kekaburan dalam melihat membuat orang tak mampu mengenali apa yang ada di hadapannya secara jelas. Apalagi kebutaan, membuat orang tak dapat melihat benda yang ada di sekitarnya.
Hati diyakini sebagai mata spiritual yang dapat melihat hal-hal yang bukan material. Kebutaan spiritual membuat orang tak dapat melihat Allah, serta karya dan wahyuNya yang ada di sekitar kita.

Yesus menyembuhkan kebutaan seorang laki-laki, sementara orang-orang Farisi, yang melihat secara fisik, mengalami kebutaan spiritual, hingga tidak melihat kehadiran Allah dalam Yesus. Sehingga mereka bisanya memaki-maki dan menghujat. Mereka tidak melihat kehadiran Allah dalam karya baik. Tak memahami bela rasa Yesus bagi orang yang sedang membutuhkan rahmat.

Saudara saudari yang terkasih,
kemarin saya ke rumah sakit menengok beberapa orang. Suster bercerita satu kisah : ada seorang yang batuk tidak memakai masker, langsung didamprat oleh orang-orang yang memakai masker di sekitarnya. Orang itu tertunduk, mungkin saja ia ingin membeli masker tetapi tidak ada. Kalaupun ada, masker itu mahal. Jangankan untuk membeli masker dengan harga tersebut, untuk makan sendiri dan keluarganya juga tidak mampu. Maka suster tersebut mengeluarkan cadangan masker di sakunya dan ia memberikannya.

Saudara saudari yang terkasih,
kadang-kadang kita melihat apa yang kelihatan secara mata tapi tidak mampu melihat apa yang dialami keadaannya, dari orang sederhana ini.
Pernah juga, lama, ketika masih frater saya dibonceng oleh seseorang, malam hari. Lalu hampir saja menabrak orang, karena ada orang menyeberang. Dan akhirnya motor yang dikendarai naik ke trotoar. Saya juga kaget yang di belakang. Lalu ternyata berhenti dan ia berkata, “gelap, saya tidak lihat”. Padahal saya melihat ada banyak lampu dan ternyata setelah saya lihat, ia, teman saya itu pada malam hari memakai kacamata hitam, maka di sekitarnya gelap.

Kacamata, perspektif yang digunakan oleh Allah itu berbeda dengan yang digunakan manusia. Maka untuk melihat jelas, lepaskan kacamata yang mungkin menghalangi kita. Di malam hari janganlah pakai kacamata hitam.
Allah melihat apa yang ada di dalam hati, manusia melihat apa yang secara fisik. Demikianlah Samuel terkecoh penampilan eksternal: wah, gagah, tampan, keren. Ia terjebak dan terperangkap penglihatan fisik. Pada waktu ditegur Allah ia menyesuaikan diri dengan perspektif kacamata Allah. Lalu barulah ia melihat apa yang dilihat Allah. Ia memilih dan mengurapi Daud. Demikianlah orang-orang Farisi, dalam Injil hari ini, mengalami kebutaan hati karena menggunakan kacamata perspektif manusia dan menggunakan perspektif hukum atau norma, bukan belas kasih dan cinta Allah.

Ketaatan buta dalam hukum, atau penyesuaian diri pada arus jaman, suara orang banyak, cari popularitas, inilah yang membuat mereka tak dapat melihat kehadiran Allah dalam diri Yesus yang membawa berkat. Ada kesucian yang tak terlihat, ada rahmat yang tak terasakan. Kesombongan sebagai kelompok orang saleh dan merasa tidak bersalah menyebabkan mereka buta akan karya dan  wahyu Allah di tengah-tengah mereka. Mereka melihat secara fisik tetapi buta secara spiritual, hingga hati nurani tidak berbunyi dan orang kudus pun dimaki habis-habisan.

Lain halnya dengan orang buta secara fisik dalam Injil hari ini. Ia disembuhkan oleh Yesus karena hatinya melek melihat karya dan wahyu Ilahi dalam diri Yesus, mengakui dengan rendah hati kebutaannya, kelemahannya. Ia percaya kepada Yesus yang dapat menyelamatkan. Penglihatan spiritual, imannya kepada Allah menjadi titik pangkal peristiwa rahmat dalam diri manusia, sekalipun ia buta secara fisik. Iman itulah yang memungkinkan kita melihat perspektif yang sama dengan Allah, bagaikan nabi. Maka Yesus diyakini oleh si buta itu sebagai nabi yang berkata dan berkarya atas nama Ilahi.

Saudara saudari yang terkasih,
saat ini ada orang yang mengalami kebutaan spiritual karena terjebak oleh obsesi dirinya, harus begini dan begitu. Mau menjadikan orang macam ini dan macam itu, serta mengatur orang harus begini harus begitu, tanpa punya wewenang. Obsesi dan orientasi keliru inilah yang menjadi perspektif yang membutakan seseorang hingga ia tidak mampu melihat perspektif, melihat dengan kacamata Ilahi.

Kebutaan ini yang mungkin menyebabkan kita sombong, hingga tidak mau dikoreksi. Karena merasa apa yang saya katakan dan saya lakukan adalah yang terbaik. Sesuai dengan aturan atau norma dan anjuran yang berlaku. Orang macam ini dengan lantang akan menantang orang seraya berkata, “Inilah kehendak Allah”. Ia akan membuat pikiran dan perkataan pribadinya sebagai kehendak Allah. Perstasi, keberasilan, reputasi, nama baik, eksternal mungkin diutamakan. Padahal yang menjadi titik pangkal keselamatan adalah iman, hati spiritual yang melek, yang memungkinkan orang berbicara dan berbuat benar seusai dengan pertimbangan yang bijaksana dan kehendak Allah. Itulah yang membuat orang-orang, murid-murid Emaus berubah, ketika melihat dan berjumpa Tuhan hingga mereka berkata, “kami telah melihat Tuhan!”

Saudara saudari yang terkasih,
apakah kita sudah sungguh melihat Tuhan?
Mari, kita mohon: Tuhan, semoga aku dapat melihat. Tuhan, semoga kami dapat melihat Engkau, terutama saat kami dicekam oleh ancaman virus corona.

No comments:

Post a Comment

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...