Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Minggu Prapaskah IV 22 Maret 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung
Kebutaan Spiritual Membuat Orang tidak Melihat Allah
Bacaan I 1 Sam 16:1b.6-7.10-13a
Mazmur Tanggapan Mzm 23:1-3a.3b-4.5.6
Bacaan II Ef 5:8-14
Bacaan Injil Yoh 9:1-41
Saudara saudari yang terkasih,
salah satu organ tubuh yang banyak digunakan
adalah mata untuk melihat. Kekaburan dalam melihat membuat orang tak mampu
mengenali apa yang ada di hadapannya secara jelas. Apalagi kebutaan, membuat orang
tak dapat melihat benda yang ada di sekitarnya.
Hati diyakini sebagai mata spiritual yang
dapat melihat hal-hal yang bukan material. Kebutaan spiritual membuat orang tak
dapat melihat Allah, serta karya dan wahyuNya yang ada di sekitar kita.
Yesus menyembuhkan kebutaan seorang
laki-laki, sementara orang-orang Farisi, yang melihat secara fisik, mengalami
kebutaan spiritual, hingga tidak melihat kehadiran Allah dalam Yesus. Sehingga
mereka bisanya memaki-maki dan menghujat. Mereka tidak melihat kehadiran Allah dalam
karya baik. Tak memahami bela rasa Yesus bagi orang yang sedang membutuhkan
rahmat.
Saudara saudari yang terkasih,
kemarin saya ke rumah sakit menengok beberapa
orang. Suster bercerita satu kisah : ada seorang yang batuk tidak memakai masker,
langsung didamprat oleh orang-orang yang memakai masker di sekitarnya. Orang
itu tertunduk, mungkin saja ia ingin membeli masker tetapi tidak ada. Kalaupun
ada, masker itu mahal. Jangankan untuk membeli masker dengan harga tersebut, untuk
makan sendiri dan keluarganya juga tidak mampu. Maka suster tersebut
mengeluarkan cadangan masker di sakunya dan ia memberikannya.
Saudara saudari yang terkasih,
kadang-kadang kita melihat apa yang kelihatan
secara mata tapi tidak mampu melihat apa yang dialami keadaannya, dari orang
sederhana ini.
Pernah juga, lama, ketika masih frater
saya dibonceng oleh seseorang, malam hari. Lalu hampir saja menabrak orang, karena
ada orang menyeberang. Dan akhirnya motor yang dikendarai naik ke trotoar. Saya
juga kaget yang di belakang. Lalu ternyata berhenti dan ia berkata, “gelap,
saya tidak lihat”. Padahal saya melihat ada banyak lampu dan ternyata setelah
saya lihat, ia, teman saya itu pada malam hari memakai kacamata hitam, maka di
sekitarnya gelap.
Kacamata, perspektif yang digunakan oleh
Allah itu berbeda dengan yang digunakan manusia. Maka untuk melihat jelas, lepaskan
kacamata yang mungkin menghalangi kita. Di malam hari janganlah pakai kacamata
hitam.
Allah melihat apa yang ada di dalam hati,
manusia melihat apa yang secara fisik. Demikianlah Samuel terkecoh penampilan
eksternal: wah, gagah, tampan, keren. Ia terjebak dan terperangkap penglihatan
fisik. Pada waktu ditegur Allah ia menyesuaikan diri dengan perspektif kacamata
Allah. Lalu barulah ia melihat apa yang dilihat Allah. Ia memilih dan mengurapi
Daud. Demikianlah orang-orang Farisi, dalam Injil hari ini, mengalami kebutaan
hati karena menggunakan kacamata perspektif manusia dan menggunakan perspektif
hukum atau norma, bukan belas kasih dan cinta Allah.
Ketaatan buta dalam hukum, atau
penyesuaian diri pada arus jaman, suara orang banyak, cari popularitas, inilah
yang membuat mereka tak dapat melihat kehadiran Allah dalam diri Yesus yang
membawa berkat. Ada kesucian yang tak terlihat, ada rahmat yang tak terasakan. Kesombongan
sebagai kelompok orang saleh dan merasa tidak bersalah menyebabkan mereka buta
akan karya dan wahyu Allah di tengah-tengah
mereka. Mereka melihat secara fisik tetapi buta secara spiritual, hingga hati
nurani tidak berbunyi dan orang kudus pun dimaki habis-habisan.
Lain halnya dengan orang buta secara
fisik dalam Injil hari ini. Ia disembuhkan oleh Yesus karena hatinya melek
melihat karya dan wahyu Ilahi dalam diri Yesus, mengakui dengan rendah hati
kebutaannya, kelemahannya. Ia percaya kepada Yesus yang dapat menyelamatkan. Penglihatan
spiritual, imannya kepada Allah menjadi titik pangkal peristiwa rahmat dalam
diri manusia, sekalipun ia buta secara fisik. Iman itulah yang memungkinkan
kita melihat perspektif yang sama dengan Allah, bagaikan nabi. Maka Yesus
diyakini oleh si buta itu sebagai nabi yang berkata dan berkarya atas nama Ilahi.
Saudara saudari yang terkasih,
saat ini ada orang yang mengalami
kebutaan spiritual karena terjebak oleh obsesi dirinya, harus begini dan begitu.
Mau menjadikan orang macam ini dan macam itu, serta mengatur orang harus begini
harus begitu, tanpa punya wewenang. Obsesi dan orientasi keliru inilah yang
menjadi perspektif yang membutakan seseorang hingga ia tidak mampu melihat perspektif,
melihat dengan kacamata Ilahi.
Kebutaan ini yang mungkin menyebabkan
kita sombong, hingga tidak mau dikoreksi. Karena merasa apa yang saya katakan
dan saya lakukan adalah yang terbaik. Sesuai dengan aturan atau norma dan
anjuran yang berlaku. Orang macam ini dengan lantang akan menantang orang
seraya berkata, “Inilah kehendak Allah”. Ia akan membuat pikiran dan perkataan
pribadinya sebagai kehendak Allah. Perstasi, keberasilan, reputasi, nama baik,
eksternal mungkin diutamakan. Padahal yang menjadi titik pangkal keselamatan
adalah iman, hati spiritual yang melek, yang memungkinkan orang berbicara dan berbuat
benar seusai dengan pertimbangan yang bijaksana dan kehendak Allah. Itulah yang
membuat orang-orang, murid-murid Emaus berubah, ketika melihat dan berjumpa
Tuhan hingga mereka berkata, “kami telah melihat Tuhan!”
Saudara saudari yang terkasih,
apakah kita sudah sungguh melihat Tuhan?
Mari, kita mohon: Tuhan, semoga aku dapat
melihat. Tuhan, semoga kami dapat melihat Engkau, terutama saat kami dicekam oleh
ancaman virus corona.
No comments:
Post a Comment