Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Jumat Paskah VII 29 Mei 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung
video : Jumat Paskah VII 29 Mei 2020
Bacaan I Kis 25:13-21
Mazmur Tanggapan Mzm 103:1-2.11-12.19-20ab
Bacaan Injil Yoh 21:15-19
Saudara saudari yang terkasih,
Paus Fransiskus menulis anjuran Apostolik
Gaudete et Exultate, bersukacitalah
dan bergembiralah, panggilan kepada kekudusan di jaman now tanggal 19 Maret 2018, Hari Raya Santo Yosef. Bersama Maria, Yosef
menjadi teladan bagi Yesus bagaimana berdoa, beriman dan bertindak sesuai
kehendak Allah. Bapa Suci mengajak kita menjadi kudus dalam kehidupan
sehari-hari karena setiap orang dipanggil hidup kudus tak bercacat di
hadapanNya. Ada banyak orang kudus, bukan hanya Santo Santa, tetapi juga orang-orang
di sekitar yang memberi teladan kesalehan. Saya mengutip dari dokumen Gaudete et Exultate no 8, “Saya senang
melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat Allah, dalam diri orangtua yang
membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri
laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam
diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap
tersenyum. Mereka mencerminkan kehadiran Allah. Kekudusan dikaitkan dengan
kehidupan yang mencerminkan kehadiran Allah.
Saudara saudari yang terkasih,
dalam Injil hari ini kita mendengar
bagaimana Yesus menyerahkan gerejaNya hanya kepada orang-orang saleh, orang-orang
kudus, yang ciri mutlaknya adalah mencintai Yesus. Ia bertanya kepada Petrus, “Apakah
engkau mencintai Aku lebih daripada mereka ini?” Dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris tidak kelihatan, kata cinta sama, tetapi sebetulnya ada perbedaan,
dalam bahasa Yunani kata yang digunakan ‘cinta’ di sini adalah kata ‘agape’,
cinta agapaō, artinya Yesus bertanya, “apakah
engkau mencintai Aku hingga berani mati demi Aku dengan cinta agapaō itu?” Petrus kaget, gelagapan, karena sebelumnya telah
menyangkal Yesus tiga kali. Bagaimana mungkin ia mencintai Yesus, mengakui saja
malu. Bagaimana mungkin ia bisa mengabdi Yesus, mengikuti saja tidak setia. Bagaimana
mungkin ia berani mati demi Yesus, membela saja takut. Ia berpikir dalam hati
demikian. Akhirnya dalam kelemahannya, Petrus menjawab, “Tuhan, Engkau tahu
bahwa aku mencintaiMu lebih daripada mereka”. Di sini Petrus menggunakan kata
cinta lain bukan agape tapi filia, ia mengatakan phileō, aku mencintai Engkau sebagai sahabat, artinya aku
mencintai Engkau sebagai sahabat, aku tidak berani mati untuk Engkau. Yesus
tahu bahwa Petrus mengasihiNya sebagai teman, tetapi telah menyangkalNya karena
tak berani mati sebagai gembala, hingga Yesus memahaminya cukup mencintainya
sebagai teman, φιλο me, Yesus
bertanya untuk kedua kalinya αγαπας
me, cinta agapaō, jawaban Petrus sama dengan
filia. Akhirnya Yesus pada pertanyaan ketiga menurunkan standar cinta dengan mengganti
kata agape dengan filia, φιλεις
me. “Petrus, apakah engkau mencintai Aku sungguh sebagai sahabat, tidak usah
berani mati”. Disitulah Petrus sedih, karena Yesus menurunkan standar cintaNya.
Ia sedih, ia berkata, “Tuhan, sungguh aku mencintai Engkau hanya sebatas
sebagai sahabat”. Yesus berkata, “gembalakanlah domba-domba!”
Nanti, kelak, Roh Kudus akan mengubah Petrus
dari memiliki cinta filia, sebagai sahabat, menjadi seorang yang memiliki cinta
agape kepada Yesus, sehingga rela mati. Maka pada saat diminta berhenti
mengajar tentang Yesus yang bangkit, Petrus dan Yohanes di hadapan Mahkamah Agama
bersaksi, “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia”, di dalam
Kisah Para Rasul 5:29. Saat itu Petrus sudah berani mati demi Yesus, ia sudah
memiliki cinta agape. Roh Kudus mengubah Petrus, meningkatkan cintanya, dari
cinta filia menjadi cinta agape. Hanya orang saleh yang mencintai Allah pantas
menggembalakan domba-dombaNya. Yesus berpesan, gembalakanlah domba-domba.
Saudara saudari yang terkasih,
Roh Kesalehan, Karunia Roh Kesalehan
membuat kita mencintai Allah sebagai pencipta dan mengasihi sesama sebagai
saudara yang diciptakan Allah. Roh Kekudusan menyadarkan kita sebagai anak-anak
Allah yang dikasihi oleh Bapa untuk selalu datang kepadaNya dan memanggilNya Abba
ya Bapa (Roma 8:15). Roh ini menyadarkan kita akan hubungan kasih dengan Allah
melalui Yesus Kristus, akan ‘hubungan darah’ dengan Allah dan seluruh ciptaan,
karena manusia diciptakan sama, satu derajat dari satu Allah yang sama. Roh ini
menyadarkan kita akan kekudusan Allah dan mendorong kita untuk ambil bagian dalam
kekudusan Allah. Hingga kita menyukai hal-hal rohani yang tampak dalam
kebiasaan dan kegembiraan berdoa secara
rutin dan sebisa mungkin, bagai orang bertemu dengan soulmate, belahan jiwa, belahan hati, pribadi yang dicintai dan
mencintainya. Ada kerinduan bertemu dengan Allah dalam doa, devosi, adorasi dan
Ekaristi. Maka karunia Roh Kesalehan menggerakkan kita untuk beribadat dan menyukai hal-hal rohani, karenanya disebut
juga Roh Ibadat. Kedekatan dengan Allah ini makin membuat kita beraroma Allah, yang
penuh belas kasih dan murah hati. Orang saleh tak perlu diingatkan jam doa, tak
perlu disuruh membaca Kitab Suci, atau diajak ikut Ekaristi. Ia akan mencari
kesempatan bahkan menyisihkan waktu yang terbaik untuk memiliki saat dan
kesempatan bersua dengan Allah. Orang saleh tak usah diminta membantu sesama,
disuruh berbuat amal atau diundang berulang kali. Ia akan mencari cara
bagaimana menghadirkan Allah yang murah hati dan penuh belas kasih. Santo Santa
disebut kudus bukan hanya karena mereka menjadi bayangan Yesus, dimana Yesus
ada, di sana mereka ada, tetapi sungguh menjadi cermin kekudusan Yesus, cermin Yesus,
bukan hanya bayangan gelap, tapi cermin bayangan yang berwarna, yang sungguh menggambarkan
Yesus, menjadi alter Kristus. ‘Orang-orang kudus menjadi soulmate’, belahan jiwa, belahan hati Yesus yang sehati sejiwa dengan
Yesus menghadirkan Kerajaan Allah memancarkan kasihNya.
Marilah kita menjadi teladan kekudusan dengan
menjadi pribadi yang selalu bersyukur dan berbakti kepada Allah, selalu punya
waktu berdoa, punya hati pada sesama dan punya nyali untuk berkorban pada Yesus
karena kasihnya pada Yesus. Di situlah kita bisa menjadi cermin Yesus, di situlah
kita boleh mengaku sebagai soulmate,
belahan hati, belahan jiwa Yesus. Itulah orang kudus, orang saleh.
No comments:
Post a Comment