Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Minggu Palma 5 April 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung
Bacaan I Yes 50:4-7
Mazmur Tanggapan Mzm 22:8-9.17-18a.19-20.23-24
Bacaan II Flp 2:6-11
Bacaan Injil Mat 26:14-27:66
Mazmur Tanggapan Mzm 22:8-9.17-18a.19-20.23-24
Bacaan II Flp 2:6-11
Bacaan Injil Mat 26:14-27:66
Saudara saudari yang terkasih,
biasanya setiap Minggu Palma ada suasana
sukacita, sorak sorai di awal, menyanyi: “Yerusalem, Yerusalem”. Anak-anak,
kaum muda, orang tua membawa daun palma menyambut Yesus masuk ke Yerusalem,
menyambut Imam masuk ke Gereja, tapi hari ini sepi di mana-mana.
Saudara saudari yang terkasih,
dalam dunia politik bisa terjadi seorang
yang kini menjadi kawan, nanti berbalik menjadi lawan, tergantung mana yang
menguntungkan. Apakah ini terjadi karena ada orang yang bersikap oportunis, yang
mau mencari untung, yang mau mencari mana yang lebih aman dan nyaman. Itulah
sikap orang-orang Yahudi terhadap Yesus, yang awalnya bersorak, “Hosanna, Hosanna!”,
akhirnya menghujat, “durjana, durjana!” Itulah yang dilakukan oleh Yudas, murid
dan bendahara yang dipercaya Yesus, yang tadinya melayani akhirnya menjual Yesus.
Saudara saudari yang terkasih,
biasanya nanti pada Jumat Agung, beberapa
televisi menayangkan film Passion
karya Mel Gibson, di mana kalau kita menyaksikan penderitaan Yesus melalui film
itu dengan sungguh, mungkin tak terasa air mata meleleh, berduka, terbawa pada
peristiwa itu, apalagi orang yang menyaksikan pada waktu itu. Dan di beberapa
tempat masih ada yang melakukan tradisi kisah sengsara Yesus bukan hanya
didramakan tapi dilakukan seolah-olah sebagai suatu peristiwa nyata.
Pernah pada suatu hari saya ada acara di suatu tempat di Keuskupan di luar pulau Jawa.
Seorang Imam bercerita pada saya, “Bapa Uskup”,
kebetulan pada waktu itu masa prapaskah, “jalan salib di kami unik, kami
lakukan seperti drama, berbukit, tetapi pernah ada kejadian seperti ini, normal
kejadiannya, dan biasanya orang yang menyaksikan itu terbawa emosi apalagi
ketika Yesus disesah, disiksa, orang pun ikut berteriak. Yesus jatuh pada
perhentian ketiga, jatuh pertama kali, kemudian pada perhentian ketujuh, Yesus
ditendang dan jatuh untuk kedua kalinya. Bukan hanya tersungkur tapi juga tertimpa
salib dan inilah dramanya, Yesus geleng-geleng kepala, lalu Ia memalingkan mukaNya,
memandang prajurit yang menendangNya, prajurit mulai mundur, Yesus melepaskan
salibNya dan mengejar prajurit itu. Jalan salib selesai pada perhentian ketujuh
karena Yesus mengejar prajurit”. Itu dalam drama bisa terjadi. Manusia bisa
berubah menjadi beringas atau lari dalam drama tapi apakah kalau dalam
kehidupan nyata juga manusia akan lari?
Yesus tidak pernah lari, malah mendekati
Yerusalem untuk mengosongkan diri dan taat sampai mati di kayu salib. Yesus disambut
sebagai Raja oleh orang Yahudi. Karena antusiasme yang bergelora, mereka rela
melepaskan pakaian dan menghamparkannya sebagai permadani di jalan-jalan yang
dilalui Yesus. Orang banyak bersorak gembira, “Hosanna bagi Anak Daud, diberkatilah
yang datang dalam nama Tuhan!” Luarbiasa! Orang yang tidak tahu pun ikut-ikutan
bersorak sorai, mungkin pada waktu itu Emak-Emak pun sedang di dapur membawa
centong nasi membawa sendok sayur, ke luar, menengok di jendela, bukan pakai daun palma tapi pakai
centong, “Hosanna, Hosanna!”
Suasana gemuruh gembira yang luarbiasa. Mereka
menyambut Yesus sebagai Raja dan menerima Yesus dengan penuh semangat. Semua orang
ingin mendekatiNya. Rupanya banyak orang yang ikut-ikutan karena sikap
oportunis, bukan dari hati, terbukti dengan apa yang terjadi beberapa hari
kemudian, pada Jumat Agung, yang kisah sengsaranya kita dengarkan hari ini, orang
yang sama, yang memuja dan memuji Yesus kemudian menjauhi Yesus bahkan
meninggalkan Yesus justru pada saat ia dinobatkan sebagai Raja di atas kayu
salib dengan tulisan inilah Raja Orang Yahudi.
Orang yang tadinya mengelu-elukan kini
mengutukNya, orang yang tadinya meluhurkan dengan lidahnya kini mencibirkan dengan
bibirnya, orang yang tadinya bersorak memuji Yesus sebagai Raja kini berteriak mencaciNya
sebagai penjahat. Teriakan sorak sorai, “Hosanna, Hosanna, Hosanna!” berubah
menjadi gemuruh makian, “durjana durjana durjana, salibkanlah Dia!”
Peristiwa ini mengingatkan orang-orang yang
antusias menerima dan membiarkan Yesus memasuki kota hati hidupnya, tetapi sayang
akhirnya karena sikap oportunis, mau untung dan senangnya, mereka menolak Yesus.
Pada mulanya dengan semangat mereka rela melepaskan kelekatan dan berkorban
diri, sepertinya mereka menghamparkan pakaian untuk Yesus bagaikan permadani untuk
memasuki hidupnya. Demi Yesus yang datang, tetapi kemudian sayangnya menolakNya,
karena berpikir kedekatannya dengan Yesus, imannya kepadaNya, aktivitasnya di Gereja,
ternyata mengancam rencana, kesukaan, karir dan hidupnya. Maka orang ini pun
bisa tega menjauhi gereja bahkan menjelek-jelekkannya padahal di situlah ia
dibaptis, di situlah ia dibesarkan, di situlah ia sukses, di situlah ia
berhasil. Syukurlah di antara orang-orang
oportunis masih ada orang-orang loyalis yang setia menemani Yesus di kayu
salib, mungkin bisu tanpa kata, lidahnya kelu tak mampu berbicara.
Sikap oportunis ternyata bukan hanya ada
di dunia politik tapi juga meresap di dalam kehidupan keluarga dan agama. Bisa
jadi saudara sekandung menjadi musuh bebuyutan karena harta dan harga diri. Orang
berpikir apa yang paling menguntungkan.
Kita yang ikut bersorak menyambut Yesus
pada Minggu Palma, apakah kita juga akan setia sebagai seorang loyalis yang menemani
Yesus hingga menghembuskan nafas terakhir pada Jumat Agung? Apakah Ia yang
loyal kepada Allah, yang menyelamatkan kita, yang wafat menebus dosa kita,
menyaksikan kita sebagai seorang loyalis yang setia menemaniNya hingga di bawah
kaki salib. Saat orang banyak menyingkir dariNya dan mencibirkan Dia saat orang
meninggalkan dan menyangkal Dia? Akankah Yesus melihat kita, seperti Ia
menyaksikan Yohanes dan ibuNya, Bunda Maria, setia sampai di bawah kaki salib menemani
Ia menghembuskan nafas terakhir, “ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaKu”.
No comments:
Post a Comment