Thursday, May 7, 2020

11 April 2020 Malam Paskah


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Malam Paskah 11 April 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung




Saudara saudari yang terkasih,
setelah lebih dari empat puluh hari, kita mendengar lagi kata nyanyian ‘Halleluyah, Halleluyah’ sebagai tanda nyanyian Kristus telah bangkit. Kemarin kita mengenangkan Sengsara Tuhan sebagai jalan penebusan manusia yang digambarkan dalam nyanyian Exultet hari ini. Allah membayar hutang manusia, membayar tebusan. Kisah Sengsara diungkapkan dengan berbagai cara, ada yang dibacakan, dinyanyikan dan didramakan, agar kita makin menghayati penderitaan Yesus sekaligus bersyukur kepada Allah atas kasihNya yang tak terbatas melalui misteri salib. Nyanyian Exultet mengungkapkan misteri ini.
Pernah lebih dari 20 tahun yang lalu, saya pergi ke suatu Paroki di pedalaman dan di sana ada drama kisah sengsara Yesus. Saya mendapat cerita bahwa drama itu disiapkan dimainkan dengan bagus. Umat terbawa emosi seakan sungguh menyaksikan penderitaan Yesus, yang akan menebus dosa manusia. Di situ ada tangisan jeritan emak-emak terutama saat Yesus ditempeleng, diludahi dan ditendang. Apalagi waktu Yesus dilempar ke salib, ibu-ibu pun histeris menangis. Terutama juga saat Yesus dipaku. Pukulan palu pada kayu salib dan papan lantai Gereja begitu keras, hingga jeritan dan tangisan makin menyayat hati. Tiba-tiba hening, orang menangis berhenti, Yesus sedang memainkan drama meregang sambil memejam mata menahan sakit. Hening. Bunyi ketukanpun hilang. Yesus heran, ada mukjizat apa? Ia membuka mata, prajurit lari, ia heran ada apa prajurit lari. Ia lihat ke atas dan ternyata ada segerombolan tawon yang bersarang di atas, sedang merasa terganggu dan marah. Melihat tawon itu Yesus pun lari.

Saudara saudari yang terkasih,
pada drama penderitaan bisa menjadi lelucon, Yesus bisa lari, tapi dalam kenyataan, mana mungkin? Kita bisa lari menyelamatkan diri. Bayangkan jika Yesus lari dari penderitaan dan berkompromi dengan Pilatus, hingga dibebaskan seperti yang ditawarkan oleh Pilatus, “tidakkah Engkau tahu bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau dan berkuasa juga untuk menyalipkan Engkau?!” Mungkin tidak ada Paskah seperti hari ini.

Saudara saudari yang terkasih,
para murid Yesus masih dicekam pengalaman ngeri Jumat Agung. Mereka dikuasai oleh kekecewaaan, ketakutan, putus asa. Apa yang dilakukan oleh Yesus tampak sia-sia, percuma. Lebih baik mati. Itulah pengalaman gelap Jumat Agung. Mereka mengalami kematian, tak mau dan tak berani keluar rumah. Namun para wanita, Maria Magdalena dan kawan-kawan berani keluar. Mereka hendak membawa rempah-rempah untuk jenazah Yesus. Ada tarikan cinta, yang mendorong mereka untuk datang kepada Yesus. Akan tetapi, sekalipun mereka masih dikuasai oleh pengalaman Jumat Agung, mereka mengalami pengalaman yang dahsyat. Tiba-tiba malaikat datang membuka pintu kubur dan memberitahu serta memperlihatkan bahwa Yesus tidak ada di situ. Mereka mencari Tubuh Yesus. Badan Yesus yang mati. Malaikat berkata, “Yesus bangkit! Ia tidak ada di sini. Ia tidak dikuasai oleh kematian. Ia sungguh hidup!” Ketika para wanita menyaksikan, sukacita sudah mulai ada. Dalam perjalanan pulang, berjumpa sungguh dengan Yesus yang bangkit. Ia melihat mereka melihat Tuhan dan sukacita mereka penuh. Pengalaman Paskah mereka alami. Jumat Agung berubah menjadi Paskah dan itulah yang kita saksikan dalam liturgi, mula-mula gelap, lalu ada cahaya, lalu ada lilin dan kemudian ada terang benderang.

Saudara saudari yang terkasih,
banyak orang merayakan Paskah dari tahun ke tahun seperti kita. Merayakan kebangkitan Tuhan, maka kita bernyanyi ‘Haleluyah, Haleluyah’ dengan ceria, tapi belum sungguh mengalami kebangkitan dalam hidupnya. Setelah pulang, apakah masih bersuka cita, ‘Haleluya, Haleluya? Bisa jadi masih dalam Golgota, bukan lagi ‘Aleluya’ tapi ‘ane lupa, ane lupa. Alelupa, alelupa’. Sepertinya liturgi dengan hidup nyata tidak menyatu. “Saya mengikuti tapi kemudian setelah itu dalam praktek hidup, saya masih mengalami Jumat Agung”. Mereka masih terjebak pengalaman Golgota. Peristiwa Paskah kiranya memberi harapan kepada kita bahwa kejahatan dan kegelapan apapun dikalahkan dengan kuasa kebangkitan. Lihat saja, bagaimana para murid Yesus yang dulu lari terbirit-birit, nanti akhirnya menjadi martir yang berani mengorbankan nyawa demi Injil. Ada perubahan nyata, dari pengalaman Jumat Agung menuju pengalaman Paskah.

Saudara-saudara, mari kita serahkan Golgota kita kepada Tuhan, pengalaman negatif, penyakit duka dan dosa kita. Bersama dengan Yesus kita tidak akan dikuasai kematian, justru membawa roh kebangkitan, membawa kabar baik bagi yang susah, hiburan bagi yang berduka, harapan bagi yang putus asa, iman akan kebangkitan saat ada kematian.

Saudara saudari yang terkasih,
wabah covid19 tak terhindarkan, mau berontak seperti apapun faktanya dunia kita sudah terjangkit. Pergaulan dibatasi, pekerjaan dikurangi, kesenangan dikendalikan, keuntungan raib, pendapatan merosot, kesehatan terganggu, kekawatiran meningkat dan ketakutan makin mencekam. Itulah Jumat Agung kita. Apakah kita akan berhenti di situ, meratapi? Tidak!

Jangan mencari Yesus dalam kematian, carilah Yesus yang bangkit. Mari kita arahkan pada Paskah, Yesus yang bangkit memberi harapan. Mari kita upayakan, apa yang masih bisa kita kerjakan untuk memberi harapan agar wabah corona ini dapat segera berakhir. Dengan berperilaku hidup bersih dan sehat agar tetap hidup. Berprakata yang baik, benar, santun dan kudus agar hidup tetap terberkati.

Ada nilai-nilai baik yang dulu hilang, kini ditemukan kembali. Yang dulu mati kini hidup kembali. Kerukunan dalam keluarga, waktu bersama, nilai-nilai manusiawi bertemu lagi. Mungkin juga keluar kamar ketemu lagi, lu lagi, lu lagi, lu lagi, dulu nggak pernah, sekarang ketemu lagi. Para istri mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak biasa, mulai memasak, belajar merias, menyapu, karena segala sesuatu ada di rumah.

Pekerjaan-pekerjaan manusiawi yang mempunyai nilai-nilai luhur yang sudah asing mungkin bagi sebagian orang. Kerinduan hidup menggereja mulai tumbuh, dan kita memikirkan apa yang harus kita lakukan nanti, seandainya ada kesempatan berkumpul kembali. Kebersamaan dalam Paroki, para Imam pun dari pagi, siang, malam makan bersama biasanya berkarya sendiri-sendiri. Sore ke lingkungan ini, ke lingkugan, tidur, pagi bertemu. Tapi hari ini, pagi makan bersama, siang makan bersama, malam makan bersama, berdoa bersama di rumah. Kepedulian pada masyarakat tumbuh dan solidaritas kepada sesama, tanpa memperhitungkan siapa dia, muncul. Luarbiasa! Itulah Paskah, padahal semua itu seharusnya kita jalani dan kita miliki sejak dulu. Tetapi ada hari ini dan itulah Paskah. Itulah yang harus kita rayakan. Itulah yang harus kita harapkan. Itulah yang harus kita wujudkan. Dan di situlah kita tidak lagi ada pada Jumat Agung, tetapi Jumat Agung yang mengantar pada Paskah pada hari ini, pada harapan hidup yang lebih baik. Selamat Paskah! Tuhan memberkati.

No comments:

Post a Comment

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...