Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Malam Paskah 11 April 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung
Video :Malam Paskah 11 April 2020
Saudara saudari yang terkasih,
setelah lebih dari empat puluh hari,
kita mendengar lagi kata nyanyian ‘Halleluyah, Halleluyah’ sebagai tanda
nyanyian Kristus telah bangkit. Kemarin kita mengenangkan Sengsara Tuhan
sebagai jalan penebusan manusia yang digambarkan dalam nyanyian Exultet hari ini. Allah membayar hutang
manusia, membayar tebusan. Kisah Sengsara diungkapkan dengan berbagai cara, ada
yang dibacakan, dinyanyikan dan didramakan, agar kita makin menghayati
penderitaan Yesus sekaligus bersyukur kepada Allah atas kasihNya yang tak
terbatas melalui misteri salib. Nyanyian Exultet
mengungkapkan misteri ini.
Pernah lebih dari 20 tahun yang lalu, saya
pergi ke suatu Paroki di pedalaman dan di sana ada drama kisah sengsara Yesus. Saya
mendapat cerita bahwa drama itu disiapkan dimainkan dengan bagus. Umat terbawa
emosi seakan sungguh menyaksikan penderitaan Yesus, yang akan menebus dosa manusia. Di situ ada tangisan jeritan
emak-emak terutama saat Yesus
ditempeleng, diludahi dan ditendang. Apalagi waktu Yesus dilempar ke salib, ibu-ibu pun histeris menangis. Terutama
juga saat Yesus dipaku. Pukulan palu pada kayu salib dan papan lantai Gereja
begitu keras, hingga jeritan dan tangisan makin menyayat hati. Tiba-tiba
hening, orang menangis berhenti, Yesus sedang memainkan drama meregang sambil
memejam mata menahan sakit. Hening. Bunyi ketukanpun hilang. Yesus heran, ada
mukjizat apa? Ia membuka mata, prajurit lari, ia heran ada apa prajurit lari. Ia
lihat ke atas dan ternyata ada segerombolan tawon yang bersarang di atas,
sedang merasa terganggu dan marah. Melihat tawon itu Yesus pun lari.
Saudara saudari yang terkasih,
pada drama penderitaan bisa menjadi
lelucon, Yesus bisa lari, tapi dalam kenyataan, mana mungkin? Kita bisa lari
menyelamatkan diri. Bayangkan jika Yesus lari dari penderitaan dan berkompromi dengan
Pilatus, hingga dibebaskan seperti yang ditawarkan oleh Pilatus, “tidakkah Engkau
tahu bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau dan berkuasa juga untuk
menyalipkan Engkau?!” Mungkin tidak ada Paskah seperti hari ini.
Saudara saudari yang terkasih,
para murid Yesus masih dicekam pengalaman
ngeri Jumat Agung. Mereka dikuasai oleh kekecewaaan, ketakutan, putus asa. Apa
yang dilakukan oleh Yesus tampak sia-sia, percuma. Lebih baik mati. Itulah
pengalaman gelap Jumat Agung. Mereka mengalami kematian, tak mau dan tak berani
keluar rumah. Namun para wanita, Maria Magdalena dan kawan-kawan berani keluar.
Mereka hendak membawa rempah-rempah untuk jenazah Yesus. Ada tarikan cinta, yang
mendorong mereka untuk datang kepada Yesus. Akan tetapi, sekalipun mereka masih
dikuasai oleh pengalaman Jumat Agung, mereka mengalami pengalaman yang dahsyat.
Tiba-tiba malaikat datang membuka pintu kubur dan memberitahu serta
memperlihatkan bahwa Yesus tidak ada di situ. Mereka mencari Tubuh Yesus. Badan
Yesus yang mati. Malaikat berkata, “Yesus bangkit! Ia tidak ada di sini. Ia
tidak dikuasai oleh kematian. Ia sungguh hidup!” Ketika para wanita menyaksikan,
sukacita sudah mulai ada. Dalam perjalanan pulang, berjumpa sungguh dengan Yesus
yang bangkit. Ia melihat mereka melihat Tuhan dan sukacita mereka penuh. Pengalaman
Paskah mereka alami. Jumat Agung berubah menjadi Paskah dan itulah yang kita
saksikan dalam liturgi, mula-mula gelap, lalu ada cahaya, lalu ada lilin dan
kemudian ada terang benderang.
Saudara saudari yang terkasih,
banyak orang merayakan Paskah dari tahun
ke tahun seperti kita. Merayakan kebangkitan Tuhan, maka kita bernyanyi ‘Haleluyah,
Haleluyah’ dengan ceria, tapi belum sungguh mengalami kebangkitan dalam
hidupnya. Setelah pulang, apakah masih bersuka cita, ‘Haleluya, Haleluya? Bisa
jadi masih dalam Golgota, bukan lagi ‘Aleluya’ tapi ‘ane lupa, ane lupa. Alelupa,
alelupa’. Sepertinya liturgi dengan hidup nyata tidak menyatu. “Saya mengikuti
tapi kemudian setelah itu dalam praktek hidup, saya masih mengalami Jumat Agung”.
Mereka masih terjebak pengalaman Golgota. Peristiwa Paskah kiranya memberi
harapan kepada kita bahwa kejahatan dan kegelapan apapun dikalahkan dengan
kuasa kebangkitan. Lihat saja, bagaimana para murid Yesus yang dulu lari
terbirit-birit, nanti akhirnya menjadi martir yang berani mengorbankan nyawa
demi Injil. Ada perubahan nyata, dari pengalaman Jumat Agung menuju pengalaman Paskah.
Saudara-saudara, mari kita serahkan Golgota
kita kepada Tuhan, pengalaman negatif, penyakit duka dan dosa kita. Bersama
dengan Yesus kita tidak akan dikuasai kematian, justru membawa roh kebangkitan,
membawa kabar baik bagi yang susah, hiburan bagi yang berduka, harapan bagi yang
putus asa, iman akan kebangkitan saat ada kematian.
Saudara saudari yang terkasih,
wabah covid19 tak terhindarkan, mau berontak seperti apapun faktanya
dunia kita sudah terjangkit. Pergaulan dibatasi, pekerjaan dikurangi, kesenangan
dikendalikan, keuntungan raib, pendapatan merosot, kesehatan terganggu, kekawatiran
meningkat dan ketakutan makin mencekam. Itulah Jumat Agung kita. Apakah kita
akan berhenti di situ, meratapi? Tidak!
Jangan mencari Yesus dalam kematian, carilah
Yesus yang bangkit. Mari kita arahkan pada Paskah, Yesus yang bangkit memberi
harapan. Mari kita upayakan, apa yang masih bisa kita kerjakan untuk memberi
harapan agar wabah corona ini dapat
segera berakhir. Dengan berperilaku hidup bersih dan sehat agar tetap hidup. Berprakata
yang baik, benar, santun dan kudus agar hidup tetap terberkati.
Ada nilai-nilai baik yang dulu hilang,
kini ditemukan kembali. Yang dulu mati kini hidup kembali. Kerukunan dalam
keluarga, waktu bersama, nilai-nilai manusiawi bertemu lagi. Mungkin juga
keluar kamar ketemu lagi, lu lagi, lu lagi, lu lagi, dulu nggak pernah, sekarang ketemu lagi. Para istri mulai melakukan
kegiatan-kegiatan yang tidak biasa, mulai memasak, belajar merias, menyapu,
karena segala sesuatu ada di rumah.
Pekerjaan-pekerjaan manusiawi yang mempunyai
nilai-nilai luhur yang sudah asing mungkin bagi sebagian orang. Kerinduan hidup
menggereja mulai tumbuh, dan kita memikirkan apa yang harus kita lakukan nanti,
seandainya ada kesempatan berkumpul kembali. Kebersamaan dalam Paroki, para Imam
pun dari pagi, siang, malam makan bersama biasanya berkarya sendiri-sendiri. Sore
ke lingkungan ini, ke lingkugan, tidur, pagi bertemu. Tapi hari ini, pagi makan
bersama, siang makan bersama, malam makan bersama, berdoa bersama di rumah. Kepedulian
pada masyarakat tumbuh dan solidaritas kepada sesama, tanpa memperhitungkan
siapa dia, muncul. Luarbiasa! Itulah Paskah, padahal semua itu seharusnya kita
jalani dan kita miliki sejak dulu. Tetapi ada hari ini dan itulah Paskah. Itulah
yang harus kita rayakan. Itulah yang harus kita harapkan. Itulah yang harus
kita wujudkan. Dan di situlah kita tidak lagi ada pada Jumat Agung, tetapi Jumat
Agung yang mengantar pada Paskah pada hari ini, pada harapan hidup yang lebih
baik. Selamat Paskah! Tuhan memberkati.
No comments:
Post a Comment