Sunday, May 10, 2020

10 Mei 2020 Minggu Paskah V


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Minggu Paskah V 10 Mei 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung




Bacaan I Kis 6:1-7
Mazmur Tanggapan Mzm 33:1-2.4-5.18-19
Bacaan II 1 Ptr 2:4-9
Bacaan Injil Yoh 14:1-12

Saudara saudari yang terkasih,
pada umumnya kita mencari dan membutuhkan kepastian. Salah satu yang paling pasti adalah kematian, walau waktunya tak pasti. Justru kematian itulah yang kita hindari. Saat orang yang kita cintai wafat, kita bisa berkata, ”mengapa ia harus dipanggil lebih dahulu, kita tak rela. Bukan saya saja”. Kita seakan protes kepada Tuhan, mengapa dia, bukan saya? Kita tidak siap kehilangannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kita siap mati saat itu, seandainya Tuhan bilang, “ya sudah gantian saja”? Iman yang membuat kita siap. Jika kematian menjemput siapapun dan kapanpun, karena ada harapan di balik kematian, ada kehidupan baru yang dijanjikan Tuhan. Bahkan ada kebahagiaan yang dirindukan oleh manusia. “Di Rumah BapaKu ada banyak tempat”, kata Yesus, “sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu”. Maka Injil hari ini, yang adalah gabungan Injil hari Jumat dan hari Sabtu, diawali dengan kata-kata menghibur, “jangan takut, jangan gelisah!” Tempat yang diidamkan sudah ada, dan sudah dijanjikan oleh Pemiliknya sendiri bukan oleh orang yang mempromosikan, tapi Pemiliknya. Pintu untuk mencapai tempat tersebut adalah kematian. Bagi orang beriman, kematian adalah awal hidup baru dengan kebahagiaan yang tak terhingga. Di mana tiada air mata dan ratap tangis, seperti yang dituliskan dalam Wahyu 21:4, yang menurut Paulus dalam Roma 8:18 “penderitaan jaman ini, jaman sekarang ini, tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita”.

Saudara saudari yang terkasih,
dalam suatu acara rohani tentang indahnya Surga, pembicara bertanya,
“siapa yang tak mau masuk Surga?”
Tentu tidak ada satu orangpun tunjuk jari. Lalu ia berkata lagi,
“siapa yang mau masuk Surga?”
Semua tunjuk jari. Mengapa mau masuk Surga? Lalu tanya lagi,
“siapa yang mau masuk duluan?”
Tak ada seorangpun juga. Semua mau tapi tak mau. Tapi ternyata ada satu orang tunjuk jari. Pembicara kaget, belum pernah ada orang tunjuk jari yang diminta mati duluan. Lalu ditanya,
“apakah betul Saudara mau masuk duluan? Mati duluan?”
“Ya, saya mau!”
“Apakah Saudara sedang frustasi atau depresi, hingga mau mati dan masuk Surga duluan?”
“Tidak! Justru saya sedang happy-happynya, sedang bahagia-bahagianya. Saya sedang berada di puncak hidup, saya sedang merasa inilah yang terbaik dari hidup saya, jadi saya senang kalau hari ini masuk Surga. Karena saya merindukan Surga, dan itulah iman, yang saya ucapkan setiap hari minggu dalam Credo, dalam Syahadat Para Rasul: ‘akan kebangkitan badan dan kehidupan kekal’. Jika Tuhan menghendaki saya mati sekarang, siap tak siap saya harus mati, tetapi kalau Tuhan memberi kesempatan lebih, saya akan berusaha hidup dalam rahmat, hingga menjadi berkat lebih bagi banyak orang”.

Saudara saudari yang terkasih,
Yesus yang adalah jalan kebenaran dan kehidupan, menjanjikan tempat tinggal di Rumah Bapa bagi siapapun. Tempat kehidupan baru yang bahagia, Surga, akan selalu tersedia. Kita tidak akan pernah kecewa karena kehabisan tempat. Ketika datang berkata,
“maaf full booked”.
Dan kita tidak akan kecewa pulang, ketika datang berkata,
“maaf kelebihan penumpang, kebanyakan orang, over booked”.
“Tapi saya sudah punya tiket”.
“Tidak! Over booked! Tidak ada tempat lagi! Saudara berada di waiting list!
Tidak! Surga, ada selalu tempat bagi setiap orang yang membawa tiket itu. Tiket akses masuk Surga, ke tempat itu, harus dibuat oleh kita sendiri dengan cara : percaya kepada Yesus yang adalah gambaran sempurna dari Allah yang kaya akan belas kasih, kaya akan rahmat, dan dengan menghadirkan Yesus melalui perkataan dan perbuatan sehari-hari. Jalan menuju tempat itu sudah ditunjukkan oleh Yesus sendiri. Dan kita harus lewat Yesus yang adalah pintu, “Aku adalah Pintu”. Maka kita diminta pergi atau keluar melalui pintu Yesus untuk dapat berkarya, mungkin di tengah pasar dan mengakhirinya, karya, pulang masuk kembali melalui pintu yang sama, seperti domba, dengan berdoa syukur. Mulai dari Altar pergi ke pasar, kembali ke Altar jangan sampai kita pergi ke pasar tanpa ke Altar, lama-lama kesasar di pasar. Tiket masuk ke Surga yang Yesus janjikan adalah iman pada Yesus dan perbuatan mengikutiNya, itu yang harus kita buat sendiri. Maka Yakobus berkata dalam Yakobus 2:17, “iman tanpa perbuatan adalah mati”.

Saudara saudari yang terkasih,
kalau Surga yang kita imani itu sungguh kita rindukan, sebagai tujuan akhir dari perjalanan hidup di dunia ini, kematian adalah pintu masuk yang kita sambut. Dan kehidupan adalah sukacita dan kegembiraan, karena kita  akan berjalan menuju sesuatu yang kita impikan dan dambakan. Kesedihan ditinggal orang yang kita cintai adalah nomal, tapi iman seharusnya meneguhkan kita, bahwa kerabat dan sahabat yang wafat akan mendapat tempat di sisi Tuhan karena belas kasihanNya. Ia bahagia, mereka bersuka cita.

Kalau saya berdoa di depan abu jenasah Mama dan Papa serta Koko saya, di Gereja Santo Laurentius sukajadi, saya tidak berdoa, “ya Tuhan, semoga mereka bahagia, diampuni dosanya, jiwanya diselamatkan”. Saya yakin mereka sudah masuk Surga, ditebus oleh Tuhan karena belas kasihNya. Saya bersyukur di sana, berdoa bersyukur atas kehidupan yang Tuhan berikan lewat mereka kepada saya. Saya memohon bahkan memohon kepada mereka, “Mah, doakan Anton supaya menjadi gembala yang baik. Pah, doakan. Koh, doakan”. Mereka meninggal 6 tahun yang lalu, 3-4, 5 tahun yang lalu. Saya maka kadang-kadang tergelitik, ada orang yang meminta intensi misa untuk saudara-saudaranya yang sudah puluhan tahun. Mohon dosanya diampuni, supaya ia diselamatkan. Aduh … udah sekian tahun belum diselamatkan juga, kasihan, padahal orangnya sudah bersukacita. Kita yang membayangkan ia masih berada di api pencucian atau sedang menderita. Tidak! Iman itulah yang menyelamatkan kita. Iman itulah yang membuat kita sukacita menghadapi kehidupan dan sukacita menerima kematian.

Ada seorang Romo berkata temannya yang batuk-batuk,
“Eh … cepat periksa! Nanti makin parah”.
“Ah, saya tidak takut mati!”
“bukan tidak mati, nanti nularin Uskup!” Jadi jangan bukan soal tidak takut mati, itu bagus, tapi bagaimana kita memelihara kehidupan supaya orang lain juga damai dan sejahtera.
Lalu ada orang lagi,
“Bapa, saya mimpi didatangi nenek”.
“Mimpi apa?”
“Nenek pesan babi hong, ini bagaimana?”
“Ya sudah, doakan saja!”
Ada macam-macam tafsiran, bisa jadi ia mau mendoakan kita, sedang mendoakan kita, mau supaya kita berbuat sesuatu lebih baik atau juga memang minta doa kita. Dan kita lihat kalau perhatikan setiap kali misa, kita mendoakan setiap orang yang sudah meninggal dalam Doa Syukur Agung, yang meninggal kaum beriman, atau yang meninggal siapa saja, jadi sudah ada doanya itu. Maka kalau kematian menjemput kita, siap atau tidak siap, harus siap.
Maka orang yang tadi itu,
“Lalu bagaimana? Merasa tidak enak karena dimimpikan emak minta babi hong”.
“Tidak! Doakan saja, intensi misa”.
“Tapi babi hongnya bagaimana?”
“Tidak usah!”
“Saya tidak enak, Emak suka babi hong”.
“Ya sudah kalau tidak enak, gimana?”
“Saya mau tetap beli”.
“Lalu mau dikemanakan? Ke Emak kan? Nggak bisa! Ya sudah, kasihkan Pastor Paroki saja babi hongnya!”

Saudara saudari yang terkasih,
kalau Tuhan menghendaki, walau kita menghindar, kita akan tetap mati. Maka lebih baik kita berkata “let’s do the best, let God do the rest”. Mari kita berbuat sebaik mungkin dan serahkan yang terbaik kepada Allah. Mari kita mengembankan hidup sebaik mungkin, sesuai jalan yang ditunjukkan Yesus, hingga kita berada dalam puncak kehidupan, berhasil. Maka orang berkata sedang bahagia-bahagianya, sedang sukses-suksesnya, sedang damai dan sejahtera ia dipanggil Tuhan. Dan pada saat itu adalah saat yang bagus, saat menyerahkan waktu kematian kepada Tuhan. Saat diberi kesempatan hidup lebih lama, mari kita berseru seperti Nabi Yesaya dalam Yesaya 6:8 “Ini aku, utuslah aku”, dan saat kita akan dipanggil Tuhan segera, kita berserah seperti Yesus yang mengulangi Mazmur 31:6, ditulis pada Lukas 21:46, “ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu”. Di situlah, baik hidup maupun mati kita bahagia, baik hidup maupun mati kita memuliakan Tuhan.

No comments:

Post a Comment

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...