Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Harian Rabu Paskah III 29 April 2020
Kapel Maria Bunda Yesus Wisma Keuskupan
Video : Rabu Paskah III 29 April 2020
Bacaan I Kis 8:1b-8
Mazmur Tanggapan Mzm 66:1-3a.4-5.6-7a
Bacaan Injil Yoh 6:35-40
Saudara saudari yang terkasih,
makanan adalah nutrisi yang mutlak
dibutuhkan oleh mahluk ciptaan agar dapat hidup, yang tanpanya mahluk tersebut
akan terganggu dan akhirnya akan segera mati. Untuk hidup baik kita butuh
makan, tetapi bukan sekedar menikmati makanan yang diingini dan disenangi saja,
melainkan makanan yang sehat, yang sungguh dibutuhkan oleh tubuh. Maka macam
dan banyaknya makanan untuk masing-masing orang tidaklah sama, tergantung dari
situasi dan kondisi tubuhnya. Bagi kebanyakan orang Indonesia, makanan pokok
adalah nasi, yang mulai dicicipi sejak kecil, sejak bisa makan, sampai dewasa
bahkan lanjut usia. Maka bagi orang tersebut nasi adalah mutlak, yang tanpanya
orang merasa belum makan, walaupun mungkin sudah menyantap mie baso, pempek, babi
panggang, bahkan telah melahap roti bakar dan bubur kacang ijo plus durian dan
es campur.
Ada ilustrasi, seorang Ibu yang
berziarah ke Tanah Suci ditanya oleh Tour
Guide,
“Bu, mengapa? Sakit? Kok pagi-pagi
keliatan letih, lemah?”, di dalam perjalanan bis.
Ibu itu menjawab, “ya, saya lapar, saya
belum makan”.
Tour
guide menjawab, “lha tadi saya lihat
ibu sudah makan. Makan roti, makan ham, makan sereal, masih buah, ada jus”.
“Iya”, kata Ibu itu, “tapi saya belum
makan nasi, ikan asin dan sambal terasi”.
Memang bagi orang-orang tertentu, belum makan nasi dikatakan belum makan. Maka
kadang-kadang ziarah ini, orang-orang yang pergi ke sana membawa bekal. Bukan
hanya bekal yang perlu untuk ziarah, tetapi untuk makanan. Maka masing-masing
membawa terasi. Bisa jadi kalau ada rombongan Indonesia, itu adalah sharing
beberapa sambal, kerupuk, ikan, macam-macam. Jaman dulu ada juga yang membawa rice cooker, sekarang konon katanya
sudah dilarang.
Saudara saudari yang terkasih,
dalam kehidupan orang Yahudi di mana Yesus
hidup, roti adalah makanan mutlak, yang tanpanya orang merasa belum makan,
walau mungkin sudah menyantap banyak makanan lain. Maka bekal utama dalam
perjalanan adalah membawa roti. Maka ketika ada orang mendapatkan tamu, orang
mau meminjam makanan kepada tetangganya berkata, “berilah kami pinjaman roti”,
“pinjamkanlah roti kepada kami”.
Bangsa Israel di padang gurun memohon
makanan kepada Musa yang lewatnya Allah menurunkan manna yang dianggapnya roti dari Surga. Setelah makan roti
tersebut, bangsa Israel puas.
Dalam doa Bapa Kami Lukas 11:3 disebut, ‘berilah
kami setiap hari makanan kami secukupnya’. Dalam versi bahasa Inggrisnya, ‘give me our daily bread’. Daily
bread, roti harian. Dalam bahasa Latin pun demikian, ‘panem nostrum cotidianum’, roti harian kami. Yang ada dalam doa Bapa
Kami diterjemahkan sekarang, ‘berilah kami rejeki hari ini’.
Maka dengan sabda, “Akulah roti hidup,
barang siapa datang kepadaku ia tidak akan lapar lagi dan barang siapa percaya
kepadaku ia tidak akan haus lagi”, Yesus menyatakan diri sebagai pribadi yang
mutlak, sebagai rejeki yang dinanti-nanti orang setiap hari. Sebagai makanan
rohani, yang tanpaNya kita tak dapat hidup baik, bahkan mungkin akan ‘mati’
walaupun selagi hidup. Kita diundang untuk datang dan percaya, sehingga kebutuhan
spiritual roh kita terpenuhi. Hingga roh kita tak lapar dan tak haus lagi, tidak
mencari kebenaran lain, kecuali Yesus yang dapat memberi kebahagiaan. Karena
perjumpaan dengan Yesus memberi sukacita yang membuatnya hidup bahagia dan
damai sejahtera. Dalam Sabda Bahagia Matius 5:6 Yesus berkata, “berbahagialah
orang yang lapar dan haus akan kebenaran karena mereka akan dipuaskan”. Yesus
lah yang memuaskan rasa lapar dan haus karena Ia adalah roti kehidupan.
Saudara saudari yang terkasih,
secara sakramental Sabda ini diwujudkan pada
Ekaristi dalam roti, hosti yang adalah Tubuh Kristus. Untuk itulah perayaan Ekaristi
yang di dalamnya kita menyantap komuni menjadi mutlak. Yang tanpaNya kita tak
dapat hidup baik sebagai orang Katolik bahkan mati kekatolikannya, tak sehat
kekatolikannya.
Dalam bacaan pertama kita dengar, sejak Stefanus
dibunuh, terjadi penganiayaan terhadap pengikut Kristus. Salah satu hal yang tetap
mereka lakukan adalah merayakan Ekaristi di tempat tersembunyi, di Katekombe,
di kuburan bawah tanah. Maka di Roma ada beberapa kuburan bawah tanah, di sana untuk
memakamkan orang-orang yang dibunuh karena iman, tapi juga tempat itu menjadi
tempat pertemuan, tempat doa, tempat merayakan Ekaristi, sumber kekuatan untuk
mendapatkan kehidupan lain. Maka dalam bacaan pertama hari ini, walaupun mereka
berada dalam penganiayaan, mereka bersukacita, ada kegembiraan ada semangat
hidup, ada kekuatan karena mereka makan roti kehidupan, berjumpa dengan roti
kehidupan di dalam perayaan Ekaristi. Ekaristi itulah yang membuat mereka tetap
hidup hingga akhirnya pada suatu hari selesai masa penganiayaan dan masuk pada
zaman kejayaan Kristen.
Saudara saudari yang terkasih,
pada masa lock down, PSBB, pembatasan sosial berskala besar, isolasi diri karena
pandemik ini, Ekaristi tak pernah boleh berhenti, karena di dalamnya Yesus sang
roti kehidupan memberikan diriNya sebagai
rejeki walau dalam masa ‘penganiayaan oleh covid19’. Karena tak bisa menyambut komuni, kita pun berdoa komuni
batin dengan harapan pada suatu hari nanti boleh menyambut komuni nyata dan
kini kita mendapat berkat yang dibutuhkan untuk hidup baik dan berjuang setiap
hari. Maka para Imam di manapun dan kapanpun, entah disiarkan atau pun tidak
disiarkan, tetap merayakan Ekaristi agar kita mendapat berkat, agar gereja
terlindungi. Semoga roti kehidupan itulah yang selalu kita rindukan yang
tanpanya kita berkata, saya lapar, saya haus, saya belum makan.
No comments:
Post a Comment