Friday, May 8, 2020

29 April 2020 Rabu Paskah III

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Harian Rabu Paskah III 29 April 2020
Kapel Maria Bunda Yesus Wisma Keuskupan 


Bacaan I Kis 8:1b-8
Mazmur Tanggapan Mzm 66:1-3a.4-5.6-7a
Bacaan Injil Yoh 6:35-40


Saudara saudari yang terkasih,
makanan adalah nutrisi yang mutlak dibutuhkan oleh mahluk ciptaan agar dapat hidup, yang tanpanya mahluk tersebut akan terganggu dan akhirnya akan segera mati. Untuk hidup baik kita butuh makan, tetapi bukan sekedar menikmati makanan yang diingini dan disenangi saja, melainkan makanan yang sehat, yang sungguh dibutuhkan oleh tubuh. Maka macam dan banyaknya makanan untuk masing-masing orang tidaklah sama, tergantung dari situasi dan kondisi tubuhnya. Bagi kebanyakan orang Indonesia, makanan pokok adalah nasi, yang mulai dicicipi sejak kecil, sejak bisa makan, sampai dewasa bahkan lanjut usia. Maka bagi orang tersebut nasi adalah mutlak, yang tanpanya orang merasa belum makan, walaupun mungkin sudah menyantap mie baso, pempek, babi panggang, bahkan telah melahap roti bakar dan bubur kacang ijo plus durian dan es campur.

Ada ilustrasi, seorang Ibu yang berziarah ke Tanah Suci ditanya oleh Tour Guide,
“Bu, mengapa? Sakit? Kok pagi-pagi keliatan letih, lemah?”, di dalam perjalanan bis.
Ibu itu menjawab, “ya, saya lapar, saya belum makan”.
Tour guide menjawab, “lha tadi saya lihat ibu sudah makan. Makan roti, makan ham, makan sereal, masih buah, ada jus”.
“Iya”, kata Ibu itu, “tapi saya belum makan nasi, ikan asin dan sambal terasi”.
Memang bagi orang-orang tertentu,  belum makan nasi dikatakan belum makan. Maka kadang-kadang ziarah ini, orang-orang yang pergi ke sana membawa bekal. Bukan hanya bekal yang perlu untuk ziarah, tetapi untuk makanan. Maka masing-masing membawa terasi. Bisa jadi kalau ada rombongan Indonesia, itu adalah sharing beberapa sambal, kerupuk, ikan, macam-macam. Jaman dulu ada juga yang membawa rice cooker, sekarang konon katanya sudah dilarang.

Saudara saudari yang terkasih,
dalam kehidupan orang Yahudi di mana Yesus hidup, roti adalah makanan mutlak, yang tanpanya orang merasa belum makan, walau mungkin sudah menyantap banyak makanan lain. Maka bekal utama dalam perjalanan adalah membawa roti. Maka ketika ada orang mendapatkan tamu, orang mau meminjam makanan kepada tetangganya berkata, “berilah kami pinjaman roti”, “pinjamkanlah roti kepada kami”.
Bangsa Israel di padang gurun memohon makanan kepada Musa yang lewatnya Allah menurunkan manna yang dianggapnya roti dari Surga. Setelah makan roti tersebut, bangsa Israel puas.

Dalam doa Bapa Kami Lukas 11:3 disebut, ‘berilah kami setiap hari makanan kami secukupnya’. Dalam versi bahasa Inggrisnya, ‘give me our daily bread’.  Daily bread, roti harian. Dalam bahasa Latin pun demikian, ‘panem nostrum cotidianum’, roti harian kami. Yang ada dalam doa Bapa Kami diterjemahkan sekarang, ‘berilah kami rejeki hari ini’.
Maka dengan sabda, “Akulah roti hidup, barang siapa datang kepadaku ia tidak akan lapar lagi dan barang siapa percaya kepadaku ia tidak akan haus lagi”, Yesus menyatakan diri sebagai pribadi yang mutlak, sebagai rejeki yang dinanti-nanti orang setiap hari. Sebagai makanan rohani, yang tanpaNya kita tak dapat hidup baik, bahkan mungkin akan ‘mati’ walaupun selagi hidup. Kita diundang untuk datang dan percaya, sehingga kebutuhan spiritual roh kita terpenuhi. Hingga roh kita tak lapar dan tak haus lagi, tidak mencari kebenaran lain, kecuali Yesus yang dapat memberi kebahagiaan. Karena perjumpaan dengan Yesus memberi sukacita yang membuatnya hidup bahagia dan damai sejahtera. Dalam Sabda Bahagia Matius 5:6 Yesus berkata, “berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran karena mereka akan dipuaskan”. Yesus lah yang memuaskan rasa lapar dan haus karena Ia adalah roti kehidupan.

Saudara saudari yang terkasih,
secara sakramental Sabda ini diwujudkan pada Ekaristi dalam roti, hosti yang adalah Tubuh Kristus. Untuk itulah perayaan Ekaristi yang di dalamnya kita menyantap komuni menjadi mutlak. Yang tanpaNya kita tak dapat hidup baik sebagai orang Katolik bahkan mati kekatolikannya, tak sehat kekatolikannya.
Dalam bacaan pertama kita dengar, sejak Stefanus dibunuh, terjadi penganiayaan terhadap pengikut Kristus. Salah satu hal yang tetap mereka lakukan adalah merayakan Ekaristi di tempat tersembunyi, di Katekombe, di kuburan bawah tanah. Maka di Roma ada beberapa kuburan bawah tanah, di sana untuk memakamkan orang-orang yang dibunuh karena iman, tapi juga tempat itu menjadi tempat pertemuan, tempat doa, tempat merayakan Ekaristi, sumber kekuatan untuk mendapatkan kehidupan lain. Maka dalam bacaan pertama hari ini, walaupun mereka berada dalam penganiayaan, mereka bersukacita, ada kegembiraan ada semangat hidup, ada kekuatan karena mereka makan roti kehidupan, berjumpa dengan roti kehidupan di dalam perayaan Ekaristi. Ekaristi itulah yang membuat mereka tetap hidup hingga akhirnya pada suatu hari selesai masa penganiayaan dan masuk pada zaman kejayaan Kristen.

Saudara saudari yang terkasih,
pada masa lock down, PSBB, pembatasan sosial berskala besar, isolasi diri karena pandemik ini, Ekaristi tak pernah boleh berhenti, karena di dalamnya Yesus sang roti kehidupan memberikan diriNya sebagai  rejeki walau dalam masa ‘penganiayaan oleh covid19’. Karena tak bisa menyambut komuni, kita pun berdoa komuni batin dengan harapan pada suatu hari nanti boleh menyambut komuni nyata dan kini kita mendapat berkat yang dibutuhkan untuk hidup baik dan berjuang setiap hari. Maka para Imam di manapun dan kapanpun, entah disiarkan atau pun tidak disiarkan, tetap merayakan Ekaristi agar kita mendapat berkat, agar gereja terlindungi. Semoga roti kehidupan itulah yang selalu kita rindukan yang tanpanya kita berkata, saya lapar, saya haus, saya belum makan.

No comments:

Post a Comment

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...