Friday, May 8, 2020

28 April 2020 Selasa Paskah III


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Harian Selasa Paskah III 28 April 2020
Kapel Maria Bunda Yesus 
Wisma Keuskupan Bandung




Bacaan I Kis 7:51-8:1a
Mazmur Tanggapan Mzm 31:3cd-4.6ab.7b.8a.17.21ab
Bacaan Injil Yoh 6:30-33


Saudara saudari yang terkasih,
kita hidup di tengah dunia yang bising tanpa hening sesaat pun. Ada banyak suara yang kita dengar, baik mekanik, elektronik maupun bunyi hiruk pikuk manusia. Suara mana yang paling banyak kita dengar? Suara mana yang paling kita senangi? Di balik semua suara tersebut ada suara Tuhan yang bergema dalam hati dan berbisik pada telinga untuk ditanggapi dengan iman dan penuh komitmen.
Alkisah seorang suami pergi ke dokter THT,  karena istrinya, yang ia anggap sering tak nyambung kalau berbicara, dan diduga tuli, tetapi tak mau pergi ke dokter. Lalu waktu dokter bertanya, “apa masalahnya Pak? Telinga, hidung, tenggorokan?”
“Telinga, tapi bukan telinga saya tapi telinga istri saya”.
 “Lha kenapa telinga istri yang bermasalah, kenapa Bapak yang datang, kenapa istri yang tidak ke sini?” 
“Ya, istri saya tidak mau datang ke dokter. Lalu saya minta nasehat, minta resep”.
“Tidak bisa. Maka coba uji saja dulu, apakah betul istri itu terganggu pendengarannya. Caranya adalah coba panggil dari jarak jauh, ia mendengar tidak? Dekati kalau memungkinkan dari 10 meter, 7 meter, 3 meter, lalu dekat, apakah ia mendengar, kalau ia dipanggil tidak mendengar, ya, berarti masalah serius dengan pendengarannya”.
Lalu ia pulang, ia mencari istrinya dan lihat istrinya ada di dapur, sedang memotong sesuatu, mau masak. Lalu suaminya memanggil dari jarak jauh,
“Bu, lagi apa?” Diam saja. Dia dekati lagi,
“Bu, ada apa? masak apa?” Tidak dengar. Dia dekati lagi, makin dekat,
“Bu, masak apa?” Tidak jawab juga. Akhirnya persis dia berada di belakangnya,
“Bu, masak apa?” Istrinya membalik dan membentak,
“dasar tuli! Saya sudah jawab tiga kali, kamu tidak dengar-dengar!” Ternyata yang tuli itu, yang terganggu pendengarannya bukan istrinya tetapi suaminya.

Saudara saudari yang terkasih,
kita sering menduga orang lain yang tuli, padahal bisa jadi kita sendiri yang terganggu pendengarannya atau tidak mau mendengarkan orang lain. Ada orang yang tak mendengarkan Tuhan, suara Tuhan. Bukan karena Tuhan tidak berbicara, tetapi ia hanya mau mendengarkan yang memberi rasa nikmat, bukan apa yang membawa selamat. Itulah para pendengar Stefanus, mereka menutup telinga karena apa yang disampaikan Stefanus adalah apa yang mereka tidak inginkan, yaitu berubah, bertobat dan berbuat baik. Stefanus merumuskannya, “hai ornag-orang yang keras kepala dan tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus. Bagaimana mungkin orang yang menentang Roh Kudus mau mendengar suara Allah? Sebaliknya Stefanus yang dipenuhi oleh Roh Kudus, mengampuni mereka yang berbuat jahat, “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka”. Stefanus lebih mendengarkan bisikan Allah daripada teriakan orang banyak serta jeritan rasa dan raganya yang waktu itu sungguh mengalami kesakitan.

Yesus sudah berbicara dan berbuat banyak, tetapi para pendengarnya malah bertanya, “tanda apakah yang Engkau perbuat, supaya kami dapat melihat dan percaya kepadaMu? Pekerjaan apakah yang Engkau lakukan? Apakah mereka tidak mendengar apa yang diajarkan Yesus atau yang dibicarakan oleh orang banyak tentang perbuatan-perbuatan ajaib yang sudah dilakukan oleh Yesus? Apakah mereka tuli dan buta hingga mereka tidak mampu mendengar dan tak mau melihat bahwa Yesus adalah roti hidup yang dijanjikan Allah? Mungkin mereka mendengar atau membaca Kitab Suci, tetapi pikiran tertutup, mata merem dan telinga bising, hingga tak sedikitpun mereka mengenali dan mengalami, bahwa kalau percaya pada Yesus mereka mengalami, bahwa Yesus adalah sumber kehidupan kekal. Kalau orang percaya kepada Yesus, orang akan mengalami kepenuhan, sukacita, bahagia, karena tak butuh apa pun lagi yang digambarkan, tak lapar dan tak haus lagi.

Saudara saudari yang terkasih,
kadang kita tergoda untuk cepat menilai, renungannya garing, kotbahnya bosan, homilinya berat. Maka orang memilih-milih, misa siapa, renungan siapa, mungkin yang sebenarnya terjadi adalah kita menutup telinga terhadap apa yang baik dan benar serta menggugat hidup kita, mengajak kita untuk berubah. Kalau kita terbuka kepada suara Allah dalam setiap renungan, kotbah, homili oleh siapapun, tentang apapun dan dengan cara bagaimanapun, kita akan menemukan sesuatu yang indah dari Tuhan untuk kita. Maka mari kita berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, bukalah telinga kami, telingaku, untuk mendengarkan Engkau melalui peristiwa yang kami alami,. Biarlah kami seperti Samuel yang berdoa, ya Tuhan bersabdalah, hambaMu mendengarkan”.

No comments:

Post a Comment

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...