Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Harian Selasa Paskah III 28 April 2020
Kapel Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung
Wisma Keuskupan Bandung
Video : Selasa Paskah III 28 April 2020
Bacaan I Kis 7:51-8:1a
Mazmur Tanggapan Mzm 31:3cd-4.6ab.7b.8a.17.21ab
Bacaan Injil Yoh 6:30-33
Saudara saudari yang terkasih,
kita hidup di tengah dunia yang bising
tanpa hening sesaat pun. Ada banyak suara yang kita dengar, baik mekanik,
elektronik maupun bunyi hiruk pikuk manusia. Suara mana yang paling banyak kita
dengar? Suara mana yang paling kita senangi? Di balik semua suara tersebut ada
suara Tuhan yang bergema dalam hati dan berbisik pada telinga untuk ditanggapi dengan
iman dan penuh komitmen.
Alkisah seorang suami pergi ke dokter
THT, karena istrinya, yang ia anggap
sering tak nyambung kalau berbicara, dan diduga tuli, tetapi tak mau pergi ke
dokter. Lalu waktu dokter bertanya, “apa masalahnya Pak? Telinga, hidung,
tenggorokan?”
“Telinga, tapi bukan telinga saya tapi
telinga istri saya”.
“Lha
kenapa telinga istri yang bermasalah, kenapa Bapak yang datang, kenapa istri
yang tidak ke sini?”
“Ya, istri saya tidak mau datang ke
dokter. Lalu saya minta nasehat, minta resep”.
“Tidak bisa. Maka coba uji saja dulu,
apakah betul istri itu terganggu pendengarannya. Caranya adalah coba panggil
dari jarak jauh, ia mendengar tidak? Dekati kalau memungkinkan dari 10 meter, 7
meter, 3 meter, lalu dekat, apakah ia mendengar, kalau ia dipanggil tidak
mendengar, ya, berarti masalah serius dengan pendengarannya”.
Lalu ia pulang, ia mencari istrinya dan
lihat istrinya ada di dapur, sedang memotong sesuatu, mau masak. Lalu suaminya
memanggil dari jarak jauh,
“Bu, lagi apa?” Diam saja. Dia dekati
lagi,
“Bu, ada apa? masak apa?” Tidak dengar. Dia
dekati lagi, makin dekat,
“Bu, masak apa?” Tidak jawab juga. Akhirnya
persis dia berada di belakangnya,
“Bu, masak apa?” Istrinya membalik dan
membentak,
“dasar tuli! Saya sudah jawab tiga kali,
kamu tidak dengar-dengar!” Ternyata yang tuli itu, yang terganggu
pendengarannya bukan istrinya tetapi suaminya.
Saudara saudari yang terkasih,
kita sering menduga orang lain yang tuli,
padahal bisa jadi kita sendiri yang terganggu pendengarannya atau tidak mau
mendengarkan orang lain. Ada orang yang tak mendengarkan Tuhan, suara Tuhan. Bukan
karena Tuhan tidak berbicara, tetapi ia hanya mau mendengarkan yang memberi
rasa nikmat, bukan apa yang membawa selamat. Itulah para pendengar Stefanus,
mereka menutup telinga karena apa yang disampaikan Stefanus adalah apa yang
mereka tidak inginkan, yaitu berubah, bertobat dan berbuat baik. Stefanus
merumuskannya, “hai ornag-orang yang keras kepala dan tidak bersunat hati dan
telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus. Bagaimana mungkin orang yang
menentang Roh Kudus mau mendengar suara Allah? Sebaliknya Stefanus yang
dipenuhi oleh Roh Kudus, mengampuni mereka yang berbuat jahat, “Tuhan, jangan
tanggungkan dosa ini kepada mereka”. Stefanus lebih mendengarkan bisikan Allah daripada
teriakan orang banyak serta jeritan rasa dan raganya yang waktu itu sungguh
mengalami kesakitan.
Yesus sudah berbicara dan berbuat
banyak, tetapi para pendengarnya malah bertanya, “tanda apakah yang Engkau
perbuat, supaya kami dapat melihat dan percaya kepadaMu? Pekerjaan apakah yang Engkau
lakukan? Apakah mereka tidak mendengar apa yang diajarkan Yesus atau yang
dibicarakan oleh orang banyak tentang perbuatan-perbuatan ajaib yang sudah
dilakukan oleh Yesus? Apakah mereka tuli dan buta hingga mereka tidak mampu
mendengar dan tak mau melihat bahwa Yesus adalah roti hidup yang dijanjikan Allah?
Mungkin mereka mendengar atau membaca Kitab Suci, tetapi pikiran tertutup, mata
merem dan telinga bising, hingga tak
sedikitpun mereka mengenali dan mengalami, bahwa kalau percaya pada Yesus
mereka mengalami, bahwa Yesus adalah sumber kehidupan kekal. Kalau orang
percaya kepada Yesus, orang akan mengalami kepenuhan, sukacita, bahagia, karena
tak butuh apa pun lagi yang digambarkan, tak lapar dan tak haus lagi.
Saudara saudari yang terkasih,
kadang kita tergoda untuk cepat menilai,
renungannya garing, kotbahnya bosan, homilinya berat. Maka orang memilih-milih,
misa siapa, renungan siapa, mungkin yang sebenarnya terjadi adalah kita menutup
telinga terhadap apa yang baik dan benar serta menggugat hidup kita, mengajak
kita untuk berubah. Kalau kita terbuka kepada suara Allah dalam setiap
renungan, kotbah, homili oleh siapapun, tentang apapun dan dengan cara
bagaimanapun, kita akan menemukan sesuatu yang indah dari Tuhan untuk kita. Maka
mari kita berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, bukalah telinga kami, telingaku, untuk mendengarkan
Engkau melalui peristiwa yang kami alami,. Biarlah kami seperti Samuel yang
berdoa, ya Tuhan bersabdalah, hambaMu mendengarkan”.
No comments:
Post a Comment