Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Harian Selasa Paskah IV 5 Mei 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung
Wisma Keuskupan Bandung
Video : Selasa Paskah IV 5 Mei 2020
Bacaan I Kis 11:19-26
Mazmur Tanggapan Mzm 87:1-3.4-5.6-7
Bacaan Injil Yoh 10:22-30
Saudara saudari yang terkasih,
kita kadang mendengar ada orang atau kelompok
yang radikal atau fundamental. Mereka hanya mau mendengarkan apa yang mereka ingin
dengarkan, entah benar atau salah. Kalau ada sesuatu yang di luar kehendak
mereka, mereka segera menutup telinga, tak mau mendengarkan. Yesus berhadapan dengan
orang-orang macam ini yang tertutup hatinya pada kebaikan Tuhan dan tertutup
budinya pada kebenaran Ilahi. Mereka bukannya kawanan domba, maka suka ngomel
dan maunya protes karena tak mengenal dan tak mendengarkanNya. Sebaliknya
pengikut Yesus secara utuh tanpa pilih-pilih dan tanpa pilah-pilah mendengarkan
apa yang dikatakan dan dilakukan Yesus semasa hidupNya. Hidup mereka disebut
Kristen, yaitu pengikut Kristus.
Saudara saudari yang terkasih,
Yesus Sang Gembala Baik mengajar para
muridNya untuk menjadi gembala yang baik sekaligus menjadi domba yang baik. Domba
yang baik mendengarkan, mengerti, mengikuti gembalanya. Domba yang baik mengalami
at home bersama gembalanya, sedangkan
domba yang nakal atau mereka yang bukan termasuk domba, tidak betah, bahkan
segera menolak gembalanya. Kata-kata baik penuh belas kasih ditangkap sebagai
penghinaan yang menyinggung perasaan mereka yang tak mau mendengarkan secara
utuh. Maka mereka bertanya kepada Yesus tentang kebenaran, “apakah Engkau Mesias?”
Yesus sudah menjelaskan, tetapi mereka tidak percaya juga, karena mereka tidak
mendengarkan apa yang mereka harapkan. Para murid diminta mendengarkan secara
utuh, tidak sepotong-sepotong. Mereka yang mengikuti dan menghidupi perkataan
dan perbuatan Yesus secara utuh disebut sebagai Kristen sejak di Anthiokia, sebagaimana
kita dengarkan dalam bacaan pertama. Merekalah yang menjadi cikal bakal gereja,
sekelompok orang yang percaya, kawanan domba Yesus yang mendengarkan dan mewujudkan
Sabda Yesus secara utuh.
Saudara saudari yang terkasih,
kita biasa menerima Surat Gembala yaitu
seruan pastoral, moral dan spiritual Uskup kepada umatnya. Pernah ada surat
domba kepada gembala, yang berisi keluhan dan kritikan pada gembala tertentu. Ini
tak biasa, tapi kok sekarang agak jadi biasa. Pernah saya diperlihatkan oleh
rekan Uskup, sebuah WA dari aktivis Katolik yang terhormat, yang tak setuju dengan
gembalanya. Saya kaget, karena isi WAnya tak enak dibaca, tak pantas didengar
dan tak nyenyak dibawa tidur. Dilihat mata pedas, didengar telinga panas. Dalam
hati saya, kok bisa umat sekarang menghujat gembalanya, salah siapa ini? Saya hanya
berpikir, apakah kita salah mendidik, membuat orang makin pintar, makin kaya,
makin terkenal dan makin berhasil, tapi apakah kita juga sudah menggembalakan
umat hingga makin beriman akan Gereja, akan misteri, akan sakramen? Apakah
sudah membuat mereka makin kudus? Tugas gembala memang membawa domba makin
kudus, makin damai dan sejahtera. Rupanya ada domba yang bermata serigala,
bertaring singa dan berjiwa radikal, seakan dialah yang paling tahu teologi, yang
paling paham Kitab Suci, paling mengerti Gereja dan paling-paling yang lain. Lebih
gawat lagi jika ada serigala berbulu domba, ada domba jadi-jadian yang bukan hanya
akan mengancam kawanan domba tetapi juga
nyawa gembala dan hidup Gereja. Ada domba yang menuntut gembala dan memaksakan
kehendaknya begini dan begitu. Kalau begitu, Gereja macam apa yang hendak
dihidupi?
Syukur kepada Allah kita punya banyak
domba-domba yang sangat baik, yang kalau mendengar ajaran yang berat hanya
berkata, “Romo, Bapa Uskup, ajaran ini berat, tapi susah untuk dilaksanakan”. Nggak apa-apa susah ini adalah ciri-ciri
domba yang baik. Tapi domba yang nakal, “wah itu salah, itu keliru” karena memang
tidak sesuai dengan dirinya. Kemarin ada kesalahan membaca Injil, banyak sms
domba-domba yang baik, hanya bertanya, “apakah betul bacaannya? Kok tidak sama dengan
yang ditulis dengan itu?” Jadi bertanya, apakah, apakah, apakah. Jadi memang
suatu ciri ketika ada sesuatu yang tidak sesuai bertanya dengan baik-baik, siapa
tahu kita juga saling bisa salah.
Maka saudara saudari terkasih, kita
domba dan gembala, mari bermawas diri,
bagaimana kita menjadi gembala yang baik sekaligus menjadi domba yang
baik. Jangan sampai ada doa, “Tuhan, dombakanlah gembala kami karena belum
berbau domba” atau “Tuhan, gembalakanlah domba kami karena masih berjiwa
serigala”. Saudara-saudari setiap orang dalam perannya menjadi gembala, tetapi
juga pada saat yang sama menjadi domba di hadapan orang lain yang Tuhan percayakan
untuk menggembalakan kita. Rasanya tidak mungkin seorang menjadi gembala yang
baik kalau ia tak bisa menjadi domba yang baik.
No comments:
Post a Comment