Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Selasa Pekan Biasa XI 16 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung
Bacaan I 1 Raj 21:17-29
Mazmur Tanggapan Mzm 51:3-4.5-6a.11.16
Bacaan Injil Mat 5:43-48
Saudara saudari yang terkasih,
dengan spontan kita menyukai orang yang
berbuat baik kepada kita, dengan mudah kita tersenyum pada orang yang memuji
kita. Bagaimana kalau ada orang yang menjelekkan atau bahkan memfitnah kita,
apakah kita masih tersenyum kepadanya? Kalau orang memusuhi kita, apakah kita akan
mendoakannya seperti yang diminta Yesus dalam Injil hari ini? Kalau ada orang yang
telah menghancurkan kita, apakah kita masih bisa memaafkan atau bahkan lebih
dari itu, mencintai dan membantunya hingga orang itu berhasil?
Santo Paus Yohanes Paulus II ditembak empat
peluru oleh Mehmet Ali Ağca 13 Mei 1981, begitu siuman Paus segera mengampuni Ali
Ağca, bahkan setelah kesehatannya pulih dua tahun kemudian mengunjunginya di
penjara di Italia. Dalam pertemuan itu pada akhirnya Ali Ağca mencium cincin Paus.
Sejak itu terjadi persahabatan, bukan hanya dengan Ali Ağca tetapi Paus dengan
ibunya dan dengan saudaranya. Saat Paus Yohanes Paulus II sakit, Ali Ağca menulis
postcard dan berdoa untuk
kesembuhannya, pada tahun 2005. Orang yang tadinya berniat membunuh,
melenyapkan, kini karena sentuhan ampun dan maaf yang tulus, ia ingin agar Paus
sehat dan hidup.
Saudara saudari yang terkasih,
lewat Sabda Bahagia Yesus menghendaki
kita, “haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di Surga sempurna
adanya”. Berbuat baik kepada orang yang baik
kepada kita, bagus! Dan memang harus kita laksanakan. Tetapi apa lebihnya? Orang
lain pun melakukan hal yang sama. Kalau setiap murid mengikuti apa yang
disampaikan Yesus dalam Sabda Bahagia dan mengikuti praktek apa yang diuraikanNya
kemudian, dengan melaksanakan hukum seperti yang dimaksud Allah, bukan sekedar mengikuti
apa yang tertera sebagai norma sosial saja, tetapi sungguh menghayati sebagai
pegangan spiritual karena kasihnya kepada Allah dan kepada sesama. Dalam soal
berbuat baik, kita diajak untuk tidak pilih-pilih, bukan tergantung dari
situasi – menyenangkan, kondisi -membahagiakan atau pribadi tertentu, tetapi
sejauh mana Roh Allah, Roh Kudus mendorong kita untuk mewujudkan kebaikan itu. Praktek
ini tidak biasa, karena umumnya orang berbuat baik kepada orang yang telah
berbuat baik. Orang yang tidak mengenal Allah pun - pemungut cukai, orang jahat
pun - yang tidak tahu menahu tentang hukum kasih akan berbuat hal yang
demikian. Maka para murid diharapkan untuk lebih dari pada mereka itu, “kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Inilah perbuatan
kontras murid Yesus yang tidak populer dan bukan menjadi preferensi umum. Pilihan
ini memberi kesaksian tentang kasih Allah yang tak terbatas, yang memberikan
sinar matahari dan hujan kepada siapapun. Kasih di sini bukanlah perasaan yang
berubah-ubah tergantung dari situasi dan pribadi, apakah ia itu lawan atau ia
kawan, apakah ia itu sahabat atau dia kerabat atau bahkan ia musuh, tetapi
karena kehendak yang lahir dari komitmen mengasihi Allah lewat sesama sebagai
wujud iman kepada Allah dan aksi nyata kepada sesama, termasuk kepada musuh. Maka
kata yang digunakan dalam mendoakan musuh tersebut atau mencintai musuh adalah
kata agape, bukan perasaan tetapi
suatu kehendak dan komitmen mengasihi.
Saudara saudari yang terkasih,
apakah sekarang ini kita mempunyai musuh?
Berapa orang? Orang bilang memiliki seribu sahabat terlalu sedikit, punya satu musuh
terlalu banyak. Kita diharapkan tak mempunyai musuh satu orangpun. Itulah yang
diminta oleh Yesus untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang berbuat
jahat, hingga kita tidak punya musuh satu pun, lain jika kita dimusuhi. Saat
kita mendengar atau menyaksikan orang yang jahat kepada kita, musuh kita,
mengalami nasib sial, sengsara atau bahkan mati entah karena musibah, penyakit,
usia atau karena hukuman, apakah kita puas dan bebas? Maka kita kalau mendengar
berita-berita tentang kejahatan-kejahatan, pembunuhan dan lain sebagainya,
keluarga korban selalu berkata, “saya ingin, kami ingin dia dihukum
sehabis-habisnya, dibunuh, dimatikan … dan lain sebagainya, ada kemarahan dan
dendam yang luar biasa. Dan itulah perasaan spontan. Bagaimana murid-murid
Yesus diminta? Paus tadi memberi contoh, orang bilang, “itu kan Paus!” Pada
tahun yang sama, ada kisah nyata di Amerika tahun 1980an, seorang berusia 16 tahun
dengan pacarnya berusia 20 tahun sedang di pinggir pantai, di dalam mobil, sedang
menikmati milkshake, tiba-tiba
diculik, ditodong, lalu dibawa ke hutan, lalu disiksa. Prianya digorok, ditusuk
dan dibunuh dan dia bernama Debby Morris, sekarang namanya, berusia 16 tahun diperkosa
beberapa kali dalam kurang lebih 30 jam, sampai akhirnya ia dibebaskan dan pergi
dan kemudian penjahatnya ditangkap. Ada buku Dead Man Walking yang dibuat oleh seorang Suster yang mendampingi orang-orang
di dalam penjara karena kriminal, akan mati dan mendampingi keluarganya juga. Lalu
tiga tahun kemudian, 1998, Debby Morris menulis memoar buku yang bagus, Forgiving Dead Man Walking, di situ ia katakan
sangat bagus, luar biasa! Ketika tidak mampu mengampuni, ada kemarahan, ada
dendam yang justru menghantui dan memperbudak saya, menghancurkan hidup saya. Tetapi
ketika saya mampu mengampuni - akhirnya ia mengampuni memaafkan - ketika saya
mampu mengampuni dan memaafkan, bukan hanya luka-luka, bukan hanya dendam, rasa
malu pada saat itu, diperlakukan dan dilecehkan secara seksual dan secara
manusiawi hilang bersama dengan hilangnya dendam itu. Pada saat saya mengampuni,
ada satu orang yang dibebaskan dari penjara, dan orang itu adalah saya sendiri,
dibebaskan dari penjara perbudakan dendam yang membuat saya mandul tak dapat
hidup.
Saudara saudari yang terkasih,
kasih itu bukanlah perasaan yang berubah-ubah
dan tidak tergantung dari situasi tetapi sungguh keluar dari hati yang murni. Saat
kita memaafkan, sekali lagi bukan dendam yang hilang, tetapi semua pengalaman
buruk kita hilang. Saat kita memaafkan, bukan musuh yang mendapat berkatnya
saja, tetapi kita berpartisipasi dalam kekudusan Allah dalam belas kasih
seperti yang dibuat oleh Yesus. Saat itulah kita akan terbebas, mengalami
sukacita, mengalami damai sejahtera. Saat kita mendoakan, mengampuni orang yang
berbuat jahat, musuh kita, bukan hanya akan membawa berkat kepada orang
tersebut yaitu pertobatan, tetapi juga terlebih membawa berkat bagi kita, karena
kita makin dekat dengan Allah dan di situlah kita menjadi anak-anak Allah.
No comments:
Post a Comment