Wednesday, June 17, 2020

16 Juni 2020 Selasa Pekan Biasa XI


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Selasa Pekan Biasa XI 16 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I 1 Raj 21:17-29
Mazmur Tanggapan Mzm 51:3-4.5-6a.11.16
Bacaan Injil Mat 5:43-48

Saudara saudari yang terkasih,
dengan spontan kita menyukai orang yang berbuat baik kepada kita, dengan mudah kita tersenyum pada orang yang memuji kita. Bagaimana kalau ada orang yang menjelekkan atau bahkan memfitnah kita, apakah kita masih tersenyum kepadanya? Kalau orang memusuhi kita, apakah kita akan mendoakannya seperti yang diminta Yesus dalam Injil hari ini? Kalau ada orang yang telah menghancurkan kita, apakah kita masih bisa memaafkan atau bahkan lebih dari itu, mencintai dan membantunya hingga orang itu berhasil?
Santo Paus Yohanes Paulus II ditembak empat peluru oleh Mehmet Ali Ağca 13 Mei 1981, begitu siuman Paus segera mengampuni Ali Ağca, bahkan setelah kesehatannya pulih dua tahun kemudian mengunjunginya di penjara di Italia. Dalam pertemuan itu pada akhirnya Ali Ağca mencium cincin Paus. Sejak itu terjadi persahabatan, bukan hanya dengan Ali Ağca tetapi Paus dengan ibunya dan dengan saudaranya. Saat Paus Yohanes Paulus II sakit, Ali Ağca menulis postcard dan berdoa untuk kesembuhannya, pada tahun 2005. Orang yang tadinya berniat membunuh, melenyapkan, kini karena sentuhan ampun dan maaf yang tulus, ia ingin agar Paus sehat dan hidup.

Saudara saudari yang terkasih,
lewat Sabda Bahagia Yesus menghendaki kita, “haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di Surga sempurna adanya”. Berbuat baik kepada orang yang  baik kepada kita, bagus! Dan memang harus kita laksanakan. Tetapi apa lebihnya? Orang lain pun melakukan hal yang sama. Kalau setiap murid mengikuti apa yang disampaikan Yesus dalam Sabda Bahagia dan mengikuti praktek apa yang diuraikanNya kemudian, dengan melaksanakan hukum seperti yang dimaksud Allah, bukan sekedar mengikuti apa yang tertera sebagai norma sosial saja, tetapi sungguh menghayati sebagai pegangan spiritual karena kasihnya kepada Allah dan kepada sesama. Dalam soal berbuat baik, kita diajak untuk tidak pilih-pilih, bukan tergantung dari situasi – menyenangkan, kondisi -membahagiakan atau pribadi tertentu, tetapi sejauh mana Roh Allah, Roh Kudus mendorong kita untuk mewujudkan kebaikan itu. Praktek ini tidak biasa, karena umumnya orang berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik. Orang yang tidak mengenal Allah pun - pemungut cukai, orang jahat pun - yang tidak tahu menahu tentang hukum kasih akan berbuat hal yang demikian. Maka para murid diharapkan untuk lebih dari pada mereka itu, “kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Inilah perbuatan kontras murid Yesus yang tidak populer dan bukan menjadi preferensi umum. Pilihan ini memberi kesaksian tentang kasih Allah yang tak terbatas, yang memberikan sinar matahari dan hujan kepada siapapun. Kasih di sini bukanlah perasaan yang berubah-ubah tergantung dari situasi dan pribadi, apakah ia itu lawan atau ia kawan, apakah ia itu sahabat atau dia kerabat atau bahkan ia musuh, tetapi karena kehendak yang lahir dari komitmen mengasihi Allah lewat sesama sebagai wujud iman kepada Allah dan aksi nyata kepada sesama, termasuk kepada musuh. Maka kata yang digunakan dalam mendoakan musuh tersebut atau mencintai musuh adalah kata agape, bukan perasaan tetapi suatu kehendak dan komitmen mengasihi.

Saudara saudari yang terkasih,
apakah sekarang ini kita mempunyai musuh? Berapa orang? Orang bilang memiliki seribu sahabat terlalu sedikit, punya satu musuh terlalu banyak. Kita diharapkan tak mempunyai musuh satu orangpun. Itulah yang diminta oleh Yesus untuk mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang berbuat jahat, hingga kita tidak punya musuh satu pun, lain jika kita dimusuhi. Saat kita mendengar atau menyaksikan orang yang jahat kepada kita, musuh kita, mengalami nasib sial, sengsara atau bahkan mati entah karena musibah, penyakit, usia atau karena hukuman, apakah kita puas dan bebas? Maka kita kalau mendengar berita-berita tentang kejahatan-kejahatan, pembunuhan dan lain sebagainya, keluarga korban selalu berkata, “saya ingin, kami ingin dia dihukum sehabis-habisnya, dibunuh, dimatikan … dan lain sebagainya, ada kemarahan dan dendam yang luar biasa. Dan itulah perasaan spontan. Bagaimana murid-murid Yesus diminta? Paus tadi memberi contoh, orang bilang, “itu kan Paus!” Pada tahun yang sama, ada kisah nyata di Amerika tahun 1980an, seorang berusia 16 tahun dengan pacarnya berusia 20 tahun sedang di pinggir pantai, di dalam mobil, sedang menikmati milkshake, tiba-tiba diculik, ditodong, lalu dibawa ke hutan, lalu disiksa. Prianya digorok, ditusuk dan dibunuh dan dia bernama Debby Morris, sekarang namanya, berusia 16 tahun diperkosa beberapa kali dalam kurang lebih 30 jam, sampai akhirnya ia dibebaskan dan pergi dan kemudian penjahatnya ditangkap. Ada buku Dead Man Walking yang dibuat oleh seorang Suster yang mendampingi orang-orang di dalam penjara karena kriminal, akan mati dan mendampingi keluarganya juga. Lalu tiga tahun kemudian, 1998, Debby Morris menulis memoar buku yang bagus, Forgiving Dead Man Walking, di situ ia katakan sangat bagus, luar biasa! Ketika tidak mampu mengampuni, ada kemarahan, ada dendam yang justru menghantui dan memperbudak saya, menghancurkan hidup saya. Tetapi ketika saya mampu mengampuni - akhirnya ia mengampuni memaafkan - ketika saya mampu mengampuni dan memaafkan, bukan hanya luka-luka, bukan hanya dendam, rasa malu pada saat itu, diperlakukan dan dilecehkan secara seksual dan secara manusiawi hilang bersama dengan hilangnya dendam itu. Pada saat saya mengampuni, ada satu orang yang dibebaskan dari penjara, dan orang itu adalah saya sendiri, dibebaskan dari penjara perbudakan dendam yang membuat saya mandul tak dapat hidup.

Saudara saudari yang terkasih,
kasih itu bukanlah perasaan yang berubah-ubah dan tidak tergantung dari situasi tetapi sungguh keluar dari hati yang murni. Saat kita memaafkan, sekali lagi bukan dendam yang hilang, tetapi semua pengalaman buruk kita hilang. Saat kita memaafkan, bukan musuh yang mendapat berkatnya saja, tetapi kita berpartisipasi dalam kekudusan Allah dalam belas kasih seperti yang dibuat oleh Yesus. Saat itulah kita akan terbebas, mengalami sukacita, mengalami damai sejahtera. Saat kita mendoakan, mengampuni orang yang berbuat jahat, musuh kita, bukan hanya akan membawa berkat kepada orang tersebut yaitu pertobatan, tetapi juga terlebih membawa berkat bagi kita, karena kita makin dekat dengan Allah dan di situlah kita menjadi anak-anak Allah.

No comments:

Post a Comment

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...