Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Sabtu Pekan Biasa XII 27 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung
Bacaan I Rat 2:2.10-14.18-19
Mazmur Tanggapan Mzm 74:1-2.3-5a.5b-7.20-21
Bacaan Injil Mat 8:5-17
Saudara saudari yang terkasih,
kita sering mendengar kesaksian orang yang
mengalami mukjizat kesembuhan dan kepulihan dari sesuatu masalah yang parah yang
tak mungkin ada jalan keluarnya menurut ukuran manusia. Bisa jadi kita bertanya,
apa rahasia rahmat istimewa itu? Mengapa ia/ mereka mendapat mukjizat besar? Mengapa
saya tak mendapat mukjizat dan rahmat khusus tersebut, padahal saya sudah mohon
tanpa henti? Kehendak Allah lain dari keinginan manusia. Allah tahu dan
memberikan yang terbaik bagi manusia, bukan semata karena jasa dan doa manusia.
Meski demikian, doa, cinta kita sebagai wujud iman sangat berkenan kepada Allah,
hingga Ia mengabulkan harapan kita. Kita diajak beriman seperti Perwira Roma yang
percaya akan kuasa Allah dalam diri Yesus.
Saudara saudari yang terkasih,
pernah ada orang memberi kesaksian,
sebelum dioperasi, seorang Ibu diperiksa ulang oleh dokter setelah didoakan,
hasilnya mengagetkan, sembuh! Tak perlu operasi. Seorang bayi mengalami
kelainan jantung, tak ada cara lain kecuali operasi. Orangtuanya ikut perayaan Ekaristi
dan berdoa dalam perayaan Ekaristi, mohon kesembuhan untuk anaknya. Sembuh! Secara
ajaib masalah jantung selesai. Seorang yang punya masalah ekonomi, berdoa dalam
perayaan Ekaristi, juga dalam live
streaming ini kesaksiannya, meminta kepada Tuhan saat hosti diangkat, ada
jalan keluar. Orangtua yang ada konflik dengan anak-anaknya lama, didoakan
dalam perayaan Ekaristi, secara tiba-tiba terjadi kerukunan yang luar biasa. Kita
ingat pernah ada ilustrasi seorang Opa yang merasa bahwa setiap hari adalah
mukjizat. Karena ternyata setiap hari hidup, bernafas. Setelah bangun kok masih
hidup, sementara banyak orang yang seumurnya, tidur tidak bangun lagi. Yang
baginya kehidupan itu adalah mukjizat. Jadi mukjizat tidak harus selalu besar,
tapi harian kita alami. Maka kalau demikian, setiap orang pernah mengalami
mukjizat, tetapi apakah kita menyadari bahwa itu adalah mukjizat? Mukjizat
adalah sesuatu yang bukan karena usaha dan jasa kita, ternyata kita mendapatkannya, sesuatu
keajaiban.
Saudara saudari yang terkasih,
Yesus berhadapan dengan seorang Perwira Roma
yang percaya akan kekuasaanNya yang mampu menyembuhkan. Perwira ini adalah orang
terhormat, pejabat tinggi, disegani dan mungkin juga ditakuti, tapi ia tetaplah
seorang asing yang tidak tahu menahu tentang Allah, tidak diperhitungkan
sebagai orang yang berhak mendapat berkat Allah, sebagai outsider, orang dari lingkungan luar, tetapi ternyata mampu melihat
kehadiran Yang Maha Kuasa, Allah di dalam diri Yesus. Keyakinan ini menjadi
iman, hingga Yesus tergerak untuk menyembuhkan.
Iman adalah kerendahan hati, keluar dari
diri sendiri, bukan memikirkan diri sendiri, tetapi tertuju kepada Allah dan
juga iman keluar dari diri sendiri, memikirkan orang lain.
Maka ia berdoa meminta bukan untuk
dirinya sendiri, tetapi hambanya. Siapakah hambanya? Hamba dibandingkan dengan Centurion, orang yang tidak … njomplang, tetapi orang yang hina, orang
yang membutuhkan belas kasih. Ia mengarahkan kepada orang itu. Iman, kerendahan
hati, keterbukaan, keluar dari diri sendiri, yaitu pengakuan diri tak pantas di
hadapan Tuhan tetapi rindu dan butuh berkat Allah serta kepercayaan penuh kepada
kuasa Allah dan kehendak Allah yang dirumuskan dengan kata-kata luar biasa, yang
kini menjadi doa sebelum komuni : “Tuhan aku tidak layak menerima Tuhan dalam
rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku akan sembuh”. Luar biasa! Bersabdalah
saja mengingatkan Kitab Kejadian, Allah bersabda maka jadilah, pengakuan yang
luar biasa. Perwira itu begitu yakin akan kesembuhan hambanya jika Yesus mau. Sebagaimana
pengalaman ia, yang punya kuasa pada bawahan, lakukan - lakukan, tidak – tidak,
melakukan, maka Yesus pun dengan kuasaNya terhadap penyakit, terhadap
malapetaka, bisa melakukannya. Perwira itu begitu yakin akan kesembuhan
hambanya jika kuasa Yesus dilaksanakan. KuasaNya melampaui ruang dan waktu. Berbeda
dengan tabib yang membutuhkan datang pada waktu tertentu melakukan upacara. Tak
dibatasi oleh tempat dan saat tertentu, bandingkan dukun yang membutuhkan
upacara-upacara tertentu, gerakan-gerakan tertentu, Yesus tidak. Dan belas
kasihNya mengatasi sentuhan dan kehadiran fisik yang menggambarkan hanya Allah yang
mempunyai kuasa seperti itu. Tidak berbuat apa-apa, tidak melakukan tindakan
apa-apa, hanya bersabda saja. Bukankah ini iman yang mewartakan bahwa Yesus
adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, yang menjadi isi iman kita. Bangsa Israel
dikunjungi dan diberitahu oleh nabi berkali-kali tetapi tidak menangkap siapakah
Yesus ini. Perwira Roma mampu menangkap siapakah Yesus yang sebenarnya. Bagi Perwira
itu kesembuhan hambanya bukan hak karena jasa dan cintanya, tetapi anugerah dan
belas kasih Allah. Maka ia tidak menuntut Yesus menyembuhkan, tetapi sangat
memohon dengan penuh harapan. Kesembuhan hambanya tergantung dari belas kasih Allah.
Yesus heran, “sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun
di antara orang Israel. Iman yang mengakui Yesus sebagai Allah, Putra Allah,
kehadiran Allah Yang Maha Kuasa.
Saudara saudari yang terkasih,
Yesus yang sama hadir secara sakramental
dalam perayaan Ekaristi yang adalah karya penebusan. Sebelum menyambut komuni
kita mengulangi doa penuh iman Perwira tersebut dengan gubahan, “ya Tuhan, saya
tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan
sembuh”. Itulah daya Ekaristi sebagai penyembuh, baik secara rohani maupun secara
badani. Dalam komuni kita akan ambil bagian dalam kehidupan Ilahi, maka kita
berkata, kita tak pantas, tetapi Allah telah membuat pantas. Seperti kata
Paulus dalam Kolese 1:12, mengucap syukur dengan sukacita kepada Allah yang
melayakkan kamu untuk mendapat bagian, dalam apa yang ditentukan oleh orang-orang
kudus dalam Kerajaan Terang. Karena anugerah itu kita berharap, bersabdalah
saja yang menunjukkan kuasa Allah Bapa dalam sabda PutraNya. Dalam iman seperti
itu kita berharap, “maka saya akan sembuh”, baik secara badani maupun pulih
secara rohani. Kita mohon belas kasih Tuhan, pasrah tanpa mengatur, tanpa
mendikte Allah, karena yakin apa yang dikehendaki Allah adalah yang terbaik
bagi kita. Kita berharap seperti Perwira itu, Yesus menjawab, “pulanglah dan
jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya!”
No comments:
Post a Comment