Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Sabtu Pekan Biasa IX 6 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung
video : Sabtu Pekan Biasa IX 6 Juni 2020
Bacaan I 2 Tim 4:1-8
Mazmur Tanggapan Mzm 71:8-9.14-15a.16-17.22
Bacaan Injil Mrk 12:38-44
Saudara saudari yang terkasih,
kadang orang tertipu penampilan luar,
ada yang tampak rapi, ramah, aktif dalam kegiatan sosial dan spiritual, ternyata
bunglon, buaya darat bahkan lintah darat. Justru ada orang yang dilecehkan
karena penampilannya, ternyata tulus berhati emas. Yang menentukan ternyata
bukanlah penampilan tapi hati. Itulah pesan Injil hari ini, ahli Taurat yang
berpenampilan terhormat dikritik dan janda miskin yang memberikan dua peser
dipuji oleh Yesus lebih banyak daripada orang-orang kaya.
Saudara saudari yang terkasih,
Yesus mengkritik banyak kelompok yang
dianggap bejat karena dengan penampilannya, mereka mengelabui orang lemah,
mempermainkan hukum Allah dan memanipulasi kaum marginal. Yesus tidak pernah
mengkritik orang karena prestasi, keberhasilannya, tetapi karena hatinya yang
jauh dari Allah hingga kelakuannya pun menyimpang dari kehendak Allah. Yesus
mengkritik orang kaya bukan karena kekayaannya, tetapi karena kelekatannya. Yesus
mengkritik orang Farisi dan Saduki bukan karena kedudukannya yang tinggi, tetapi
karena kemunafikannya. Yesus mengkritik ahli Taurat bukan karena keahliannya,
tetapi karena manipulasinya. Yesus mengkritik para Imam bukan karena
kedekatannya dengan altar, tetapi karena kelakuannya yang tak pantas.
Saudara saudari yang terkasih,
perkataan dan perbuatan mereka tak
menunjukkan sikap orang beriman, pemimpin masyarakat dan tokoh agama. Kepintaran,
kedudukan, kekayaan dan pelayanan dalam agama adalah suatu anugerah Allah yang
patut disyukuri, sebagai berkat yang untuk dibaktikan kepada Allah lewat
pengabdian pada sesama, tetapi ternyata orang-orang yang dikritik oleh Yesus
itu menggunakannya untuk kepentingan sendiri. Yesus melihat, akarnya adalah
bukan pada apa yang mereka miliki, tetapi ada pada hati dan budi yang tidak
tertuju kepada Allah. Maka Yesus memanggil murid-muridNya, “lihat, itu ada orang
janda”. Ia memuji seorang janda yang miskin, yang hati dan budinya terarah
kepada Allah hingga tidak ragu mempersembahkan apa yang dimilikinya. Mungkin
muridNya berkata, “kok Engkau tahu punya dua peser?” Yesus berkata, “ya Saya
tahu apa yang ada dan apa yang dipegangnya, apa yang disembunyikannya, tahu
semuanya”.
Orang yang hati dan budinya tertuju pada
Allah, akan mencurahkan seluruh energinya dan materinya bagi kepentingan Allah.
Ia yakin bahwa Allah yang diabdinya akan memberi berkat yang cukup untuk hidup bahkan
akan memberi lebih dari itu, yaitu sukacita dan damai sejahtera. Persembahan
bukanlah tindakan amal dan sosial semata, melainkan juga tindakan spiritual,
yaitu perwujudan iman kepada Allah, yang adalah sumber berkat yang patut kita
syukuri. Janda miskin yang tidak mempunyai kewajiban untuk mempersembahkan
kolekte pada jaman itu, justru janda miskin termasuk orang yang harus diberi
amal. Ada orang asing dalam tradisi Kitab Suci Perjanjian Lama, yang harus
dibantu yaitu janda, yatim piatu dan orang miskin. Nah ini janda dan orang
miskin jadi satu, jadi suatu yang harus
dibantu luar biasa. Tetapi justru ini memberikan. Maka memberikan kepada orang
asing tadi, janda, orang miskin dan anak-anak itu bisa menjadi silih atas dosa-dosa,
bisa menggantikan kurban binatang. Maka membantu orang miskin adalah
mempersembahkan sesuatu kepada Allah. Maka Yesus pun mengumpamakan diri, menghadirkan
diri dalam diri orang-orang yang membutuhkan bantuan itu. Maka menjadi tradisi
juga, tindakan amal sebagai silih dari kurban kepada Allah, silih dari dosa
juga, bahkan dalam satu pengertian, orang miskin menjadi Altar hidup untuk
mempersembahkan sesuatu yang berharga kepada Allah.
Janda miskin yang tidak punya kewajiban
seperti itu, tetapi karena imannya kepada Allah, ia mempersembahkan apa yang
dimilikinya. Ia dipuji Yesus bukan karena keadaannya yang miskin, tetapi karena
hatinya yang kaya. Ia secara kualitatif mempersembahkan lebih banyak daripada orang-orang
yang secara kuantitatif memasukkan uang lebih banyak. Karena baginya,
persembahan bukan hanya soal berbagi dan memberi, tetapi soal mempercayakan
diri kepada Allah yang menyelenggarakan kehidupan dengan mempersembahkan apa yang
berharga untuk digunakan bagi mereka yang membutuhkan. Yesus berkata sebelumnya,
“berikanlah apa yang menjadi hak Allah”.
Saudara saudari yang terkasih,
ada ilustrasi, seorang anak pada malam
minggu, belum tidur menunggu ayahnya yang setiap hari pulang malam dan pergi
pagi hari untuk bekerja. Hampir tengah malam anaknya belum tidur, ayahnya
selalu kalau mau tidur menengok anaknya, ternyata anaknya belum tidur juga, ia
kaget, “kenapa belum tidur?” Ia bertanya.
“Papa kerja digaji berapa satu jam?”
“Untuk apa kamu tanya-tanya? Ayo tidur
sana!”
“Tidak apa-apa, saya hanya ingin tahu,
karena Papa terus bekerja”.
“Soalnya Papa bekerja untuk kamu semua, untuk
mainan kamu, untuk makanan, untuk segala kebutuhan. Kamu tidur!”
Anak itu menangis, karena Bapaknya sayang,
ia melihat anaknya, ia bertanya
“Kenapa kamu tanya, Nak? Papa bekerja
sehari dibayar dua puluh lima ribu”.
“Kalau minggu berapa Pa? Kenapa Papa kerja?”
“Kalau minggu lebih besar, makanya Papa
bekerja, lima puluh ribu satu jam”.
Anak itu berkata, “boleh tidak Pa,
pinjam empat puluh ribu?”
“Untuk apa kamu pinjam? Sana tidur!”
Anaknya menangis lalu tidur. Ternyata Papanya
nengok, anak belum tidur. Lalu ia mendekati, bertanya,
“Kenapa kamu mau pinjam?”
Anaknya berkata, “saya punya enam puluh
ribu Pa, saya pinjam empat puluh ribu supaya saya bisa menggaji Papa untuk besok
hari minggu ke gereja sama-sama, dua jam saja”.
Ayahnya memeluk anak itu dan berkata, “Nak,
jangankan kamu pinjam, Papa beri besok lima puluh ribu, kita ke gereja bersama-sama!”
Ke gereja bersama-sama, anaknya
bersyukur kepada Tuhan, karena itulah doa anak itu, supaya Papanya bisa ke
gereja bersama anaknya. Waktu kolekte Papanya kaget, anak itu memasukkan lima
puluh ribu, lalu ia berkata,
“Nak, kenapa besar-besar?”
Ia bilang, “Pa, untuk Tuhan yang telah
baik mengabulkan doa saya, kenapa Papa harus memperhitungkan, hitung-hitung sama
Tuhan? Lihat hidup kita, Papa sehat, saya sehat, Mama sehat, kakek nenek sehat,
bukankah itu dari Tuhan, kenapa harus hitung-hitungan dengan Tuhan yang
memberikan segalanya untuk kita?”
Papanya tersentak dan terdiam.
Saudara saudari yang terkasih,
ada orang kaya materi tetapi miskin
rohani, sebaliknya ada orang yang miskin materi tetapi kaya rohani. Yang lebih
memprihatinkan lagi adalah orang miskin materi tetapi juga miskin rohani. Yang
menjadi harapan kita semua adalah orang yang kaya baik rohani maupun materinya.
Kekayaan materi seharusnya menyadarkan orang untuk memperkaya diri secara
rohani, sehingga suka berbagi, bukan dilihat dari kuantitas pemberiannya tetapi
dari kualitas hati yang memberi. Kekayaan rohani hendaknya mendorong orang untuk
berjuang meningkatkan kesejahteraan material dan sosial, karena Tuhan
menghendaki kesejahteraan itu. Syukur kepada Allah, kini banyak orang yang
murah hati berbagi rejeki, dengan orang miskin. Sebagai orang beriman,
kemurahan hati ini akan lebih bermakna kalau ditempatkan dalam konteks iman, yaitu
bakti kepada Allah melalui sesama. Donasi dan kontribusi yang tidak dibatasi
dengan pemberian materi, tetapi juga bisa sumbangsih ilmu, waktu, pikiran,
tenaga, sepantasnya merupakan ungkapan syukur kepada Allah yang telah
memberikan rahmat yang berlimpah kepada kita, hingga orang, kita semua,
dipanggil untuk menjadi saluran berkat bagi sesama.
Marilah pertama-tama memberikan hati
kepada Tuhan, maka budi, materi dan energi kita pun akan dimanfaatkan untuk
kepentingan Tuhan.
No comments:
Post a Comment