Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin,
OSC
Misa Selasa Pekan Biasa X 9 Juni 2020
Kapel Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan
Bandung
video : Selasa Pekan Biasa X 9 Juni 2020
Saudara saudari yang terkasih,
kini ada banyak pusat pelatihan mental
spiritual karena ada kebutuhan akan militansi, yaitu keunggulan pribadi. Banyak
orang hidup rata-rata, tidak menonjol. Pengikut Kristuspun ada yang hidup adem
ayem, tanpa greget, maunya hanya numpang populer, tanpa usaha, tanpa keutamaan
dan gampang ikut arus ke sana ke mari. Setelah menuturkan Sabda Bahagia sebagai
pedoman menjadi murid, Yesus mengingatkan para murid akan identitasnya sebagai
garam dan terang dunia, pribadi yang menonjol dengan keutamaan yang memberi
rasa dan selera di tengah kehambaran dunia dan memancarkan terang di tengah
kegelapan hidup.
Saudara saudari yang terkasih,
kita mengenal Mother Teresa dari Kalkuta,
ia memberi kesaksian bagaimana menjadi garam dan terang dunia. Dengan memberi
makan mereka yang lapar, mengobati yang sekarat dan menemani orang, yang
dianggap sebagai binatang, mati menutup mata, agar ketika memejamkan mata merasa
sebagai manusia. Awalnya ia ditertawakan sebagai perbuatan sia-sia, bagaikan
menabur garam ke laut. Tapi kemudian mengejutkan dunia dan akhirnya diakui
dunia. Saat menerima hadiah Nobel tahun 1979, Mother Teresa berkata, “jangan berpaling dari
orang miskin. Sekali kita berpaling dari orang miskin, kita berpaling
meninggalkan Kristus. Mother Teresa memberi selera bagi orang miskin dan
memberi terang pada mereka yang sudah putus asa. Hidupnya menjadi persembahan yang
hidup kepada Allah.
Saudara saudari yang terkasih,
Yesus mengajak para murid untuk menjadi
garam dan terang dunia. Ia tidak mengajak “mari menjadi garam dan terang dunia”,
tetapi mengingatkan mereka akan identitasnya sebagai garam dan terang dunia, “Kamu
adalah garam dan terang dunia!” Dalam hidup, garam mempunyai dua fungsi:
pertama, garam mengawetkan, memelihara, hingga sesuatu yang diberi garam, daging
misalnya, akan bertahan tak hancur oleh lingkungan sekitar. Kedua, garam
memberi rasa, hingga orang mempunyai selera makan yang enak. Dalam tradisi Perjanjian
Lama, garam berfungsi sebagai pelengkap kurban sajian dan pengingat perjanjian akan
Allah. Dalam Imamat 2:13 dikatakan, “… dan tiap-tiap persembahanmu yang berupa korban
sajian, haruslah kau bubuhi garam. Janganlah kau lalaikan garam perjanjian Allahmu
dari korban sajianmu, beserta segala persembahanmu haruslah kau tambahkan garam”.
Maka Yesus bukan hanya mengajak mereka mempertahankan nilai-nilai Kerajaan Allah
dari berbagai godaan dunia dan meminta mereka untuk memberi selera pada
masyarakat dengan membawa Tahun Rahmat Tuhan, memberitakan Injil, membantu orang
miskin, tetapi juga menjadikan hidup ini sebagai kurban yang pantas bagi Allah dengan
mewujudkan perjanjian kudus. Di mana kata Yahwe, “Aku akan menjadi Allahmu dan
kamu akan menjadi umatKu”. Di situlah umat hidup miskin dalam Roh, mengandalkan
Tuhan semata. Bagaikan kisah dalam Bacaan Pertama, janda dari Sarfat, hidup
karena belas kasih Tuhan. Kalau tanpa belas kasih Tuhan, mati seperti ia katakan.
Saudara saudari yang terkasih,
sebagai garam hidup, kita adalah
persembahan yang berkenan kepada Allah, bersama dengan kurban roti sajian Perjanjian
Baru, yaitu Yesus yang adalah roti kehidupan. Kalau kurban hidup kita cacat,
tak sesuai dengan kriteria persembahan utama, maka kita sebagai persembahan
akan dibuang dan diinjak karena tidak pantas disajikan dalam meja persembahan. Jika
para murid mewujudkan identitasnya ini, maka mereka akan tampil sebagai terang
bagi masyarakat sekitar, seperti yang dilakukan oleh Mother Teresa, umat dan
masyarakat mengalami efek langsung dari terang tersebut.
Saudara saudari yang terkasih,
sebagai garam dan terang dunia kita
ditantang mewujudkan militansi sebagai murid Kristus, bukan dengan memamerkan
diri, tetapi dengan berani memberi rasa dan selera pada dunia serta menjadi
teladan dan panutan. Itulah hakekat garam yang diakui pada saat memberi rasa
dan selera kepada orang lain. Itulah korban hidup yang berkenan kepada Allah
saat hidup kita sepadan dengan kualitas roti sajian kurban utama, yaitu Yesus yang
wafat di kayu salib. Demikianlah terang ada dan diakui bukan untuk menerangi
diri sendiri, tetapi untuk memancarkan terang kepada orang lain. Agar diri
makin bahagia menjadi murid Kristus maka
mari kita pancarkan terang ini, hingga orang tahu bahwa kita adalah
murid Kristus dan akan makin memuliakan Allah.
Maka agar kita makin bahagia sebagai
murid Kristus, kekatolikan dan militansi sebagai orang Katolik kita wujudkan,
kita hidupkan sedemikian rupa demi kesejahteraan bersama dan demi kemuliaan Allah.
Kalau orang Katolik tidak mampu mewujudkan identitasnya sebagai garam dan
terang, kehilangan militansinya, bagaimana ia akan diasinkan?
Mari kita wujudkan identitas kita, garam
dan terang dunia, mulai dari keluarga,
gereja, tempat kerja, komunitas dan masyarakat. Jika orang Katolik kehilangan
kekatolikannya dengan apa lagi ia dikatolikkan lagi, selain dikesampingkan dan
disingkirkan bahkan diinjak-injak orang.
No comments:
Post a Comment