Monday, June 29, 2020

29 Juni 2020 HR St Petrus dan St Paulus


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Hari Raya Santo Petrus dan Santo Paulus 
29 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I Kis 12:1-11
Mazmur Tanggapan Mzm 34:2-3.4-5.6-7.8-9
Bacaan II 2 Tim 4:6-8.17-18
Bacaan Injil Mat 16:13-19

Saudara saudari yang terkasih,
Petrus dan Paulus dikenal dua rasul yang berbeda latar belakang, pengalaman iman, dan tugas perutusannya. Tetapi mereka memiliki iman dan komitmen yang sama luar biasa dalam pelayanan dan pewartaan Injil. Petrus mengutamakan pewartaan kepada bangsa Israel dan Paulus pada bangsa bukan Yahudi. Perjalanan iman Petrus panjang, dari seorang nelayan sederhana menjadi rasul yang dipilih memimpin komunitas murid Yesus, Gereja. Perjalanan iman Paulus singkat padat, dari seorang terpelajar, terhormat, penganiaya murid Tuhan, secara mendadak dijumpai Yesus yang telah bangkit, diterangi, hingga menjadi rasul yang ulung.

Saudara saudari yang terkasih,
kadang-kadang dalam hidup sehari-hari, ada orang yang berbisik-bisik memberitahu berita heboh, dengan berkata,
“ssstt… jangan bilang-bilang”.
Lalu kan kita tanya,
“kamu tahu dari siapa?”
“ada saja, ada saja, ada sumbernya, berita heboh dari siapa”.
Orang lain lagi berkata,
“kamu akan pindah ya?” atau “kamu akan pergi ya?”
“Lho tahu dari siapa? Tak mungkin kamu tahu kalau tidak diberitahu oleh dia, karena saya hanya memberitahu kepadanya”.
Jadi ada sumber yang memberi tahu berita yang benar, berita yang rahasia.

Saudara saudari yang terkasih,
tak mungkin orang tahu tanpa ada yang memberi tahu, demikianlah Petrus tak mungkin tahu siapakah Yesus kalau tak ada yang memberitahu. Apalagi rahasia surgawi, pewahyuan Ilahi yang menjadi inti iman akan Yesus. Setelah menanyakan menurut pendapat orang lain, Yesus bertanya kepada Petrus, “siapakah Aku menurutmu?” Petrus langsung menjawab apa yang belum pernah ia pikirkan, katakan atau bicarakan dengan teman-temannya, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup”. Petrus kaget akan jawabannya sendiri, seakan tak percaya dirinya yang berbicara. Bagaimana mungkin seorang nelayan sederhana bisa berbicara seperti seorang teolog ternama? Mungkin ia juga manggut-manggut, bahagia, bangga bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Itulah pernyataan atau jawaban orang berkelas, berpendidikan tinggi dan berjabatan mulia seperti Kayafas, Imam Agung yang mengajukan pertanyaan yang sama pada Matius 26:63, ketika Yesus diadili, “demi Allah yang hidup, apakah Engkau Mesias Anak Allah atau tidak?” Yesus bukan sekedar Mesias biasa seperti Daud leluhurNya, tetapi Anak Allah yang hidup. Hanya Putra Allah yang tahu kenyataan itu. Darimana Petrus tahu? Petrus tidak akan tahu kalau bukan Bapa atau Yesus yang memberi tahu. Karena menurut Matius 11:27, Yesus berfiman, “semua telah diserahkan kepadaKu oleh BapaKu, dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan”. Terhadap jawaban Petrus atau disebut Kefas, Yesus mengatakan, “berbahagialah engkau, Simon bin Yunus, sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang ada di Surga”.
Pengakuan iman adalah iluminasi Ilahi, penerangan dari Allah, yaitu rahmat Allah untuk percaya akan kenyataan dan pewartaan Ilahi, bukan karena pengetahuan, bukan karena pengalaman atau kepandaian dan kedudukan seseorang. Kepada siapa Allah berkenan, iman akan dinyatakan, apapun latar belakangnya. Seperti Yesus memilih Saulus, penganiaya Gereja menjadi Paulus, rasul istimewa yang berjasa mengembangkan Gereja dalam kebersamaan dan di bawah kepemimpinan Petrus yang disebut Kefas, yang kelak menjadi Imam Agung, Paus, pemimpin Gereja. Ia adalah ‘Kayafas baru’, Kefas - Kayafas, ia adalah Kayafas baru. Kefas mengakui siapakah Yesus dan diserahi Gereja sedangkan Kayafas yang punya otoritas dan kapasitas untuk mengakui Yesus sebagai Imam Agung, Anak Allah, tetapi justru mempertanyakan dan menyerahkan Yesus untuk disalib.

Saudara saudari yang terkasih,
apapun rumusan iman, bukanlah hasil usaha dan jasa insani, tetapi anugerah Ilahi karena Allah berkenan menyatakannya. Maka marilah kita bersyukur kepada Allah karena Yesus berkenan kepada kita, hingga kita mau dan mampu percaya seperti yang kita ungkapkan dalam Credo, dalam Aku Percaya, Syahadat Para Rasul : Aku percaya akan Allah Tritunggal, Bapa, Putra dan Roh Kudus serta kepada gereja Katolik. Dalam Credo panjang, yang satu, kudus, apostolik, kepada persekutuan para kudus, pengampunan dosa,  kebangkitan badan dan kehidupan kekal. Iman yang kita miliki ini adalah karena anugerah Allah, Allah berkenan kepada kita, seperti Allah berrkenan mengatakan siapakah Yesus kepada Petrus. Darimana kita tahu dan mampu percaya, kalau bukan Yesus yang mewahyukannya, yang menyatakan kepada kita. Dalam pelayanan dan pewartaan Injil, janganlah ada paksaan atau rayuan yang mengecohkan.
Semoga usaha kita menjadi jalan untuk terbuka pada karya Roh Kudus. Biarlah Roh Kudus yang diutus Yesus, menyatakan wahyu kepada orang untuk mau dan mampu percaya. Doakanlah mereka yang belum percaya agar Yesus berkenan menyatakan rahasia iman ini kepadanya.

Sunday, June 28, 2020

28 Juni 2020 Minggu Pekan Biasa XIII Tahun A/II

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC

Misa Hari Minggu Biasa XIII 28 Juni 2020

Gereja Santo Petrus Katedral Bandung


video : Minggu Pekan Biasa XIII 28 Juni 2020

 

Bacaan I 2 Raj 4:8-11.14-16a

Mazmur Tanggapan Mzm 89:2-3.16-17.18-19

Bacaan II Rom 6:3-4.8-11

Bacaan Injil Mat 10:37-42

 

Saudara saudari yang terkasih,

kadang ada orang bertanya, mengapa untuk menjadi Katolik saja susah, lama, orang dewasa butuh satu tahun. Kiranya bukan soal pengetahuan, pelajaran, tetapi perubahan hidup yang disampaikan dalam Injil dan Bacaan Pertama hari ini. Kehidupan baru yang disediakan seseorang, apakah ia siap memasuki kehidupan baru seperti yang dinyatakan Yesus di dalam Injil hari ini. Maka selama setahun itu mempersiapkan orang untuk sungguh memasuki kehidupan baru itu. Maka setelah dibaptis banyak orang yang terlibat dalam pelayanan, kemudian nanti diperkokoh oleh sakramen penguatan. Dan ada beberapa kesaksian orang yang berkata setelah dibaptis ia berubah dan sungguh berubah, hidup baru, cara berbisnisnya lain, cara usaha lain, cara bekerja lain, cara hidup lain, cara dengan keluarga lain, dan itu bertahan lama, dan itulah kiranya pembaptisan, meninggalkan kehidupan lama dan memasuki kehidupan yang sungguh-sungguh baru sebagai manusia, bukan semata pelajaran-pelajaran. Pengetahuan Katolik dapat dipelajari kapan saja dan di mana saja. Bentuk radikal dari pembaptisan itu adalah kaul-kaul religius, orang yang hidup bakti, suster, biarawan, biarawati dan mereka semua yang mengucapkan kaul, baik secara publik dan privat. Pernah dalam suatu pertemuan dengan para suster, saya meyakinkan mereka bahwa hidup bakti itu adalah hidup di Surga yang dihadirkan di dunia ini. Maka ini merupakan panggilan yang luar biasa. Maka kalau ada orang bertanya, “Suster, kalau kehidupan di Surga itu seperti apa?” Para suster atau mereka semua yang mengucapkan kaul harus berani berkata, “lihat hidup kami, inilah kehidupan surgawi yang ada di dunia”. Para hidup bakti meradikalkan Sakramen Baptis dengan tiga nasihat Injil secara total. Kesaksian hidup kelak untuk mati bagi dirinya dan hidup untuk Kristus melalui ketiga kaul. Dalam Injil hari ini Yesus meminta duabelas rasul, tidak seperti biasa, ini dua belas rasul yang dipilihNya untuk memasuki babak kehidupan baru dengan cara meninggalkan kehidupan lama, mati dalam dosa, agar mendapat kehidupan baru, bangkit dalam Kristus yang sebenarnya dirindukan oleh setiap orang. Rupanya secara tidak langsung, Yesus menyampaikan misteri pembaptisan yang kelak menjadi tugas perutusan bagi mereka. Dalam Bacaan Kedua, Paulus mengatakan, “jadi jika kita telah mati dalam Kristus, kita percaya kita akan juga hidup bersama Dia”. Mati terhadap dosa berarti meninggalkan kehidupan lama yang dikuasai nafsu dan naluri beralih menuju kehidupan baru yang dihembusi oleh roh Ilahi , yang diwujudkan dalam mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap kekuatan. Maka Yesus berkata, “kalau engkau tidak mencintai Aku lebih dari pada mereka, engkau tidak layak”. Yesus tahu betul bahwa perintah Allah pertama dalam fondasi perintah manusia, yaitu pada urutan bagian manusia, perintah keempat, hormatilah ayah dan ibunya yang berarti muliakanlah, kasihilah ayah ibumu, ini harus dilaksanakan, karena bagaimana mungkin orang bisa mengasihi sesama, melaksanakan hukum perintah Allah yang lain, jika mereka, yang melaluinya, kita mendapat rahmat kehidupan dan kelahiran, kita tak memuliakan, tak mengasihi. Kalau kepada orangtua saja yang melahirkan, yang memberikan kepada kehidupan, kita tak menghormati, tidak memuliakan, tak mengasihi, bagaimana mungkin kita bisa mengasihi orang lain? Kasih kepada Yesus adalah fondasi kasih kepada orang tua. Di sini secara implisit Yesus mau menyatakan bahwa dirinya adalah Allah, yang lebih penting dari semuanya, karena dalam tradisi Yahudi diucapkan setiap hari atau setiap kali, “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap tenagamu”. Hanya Allah yang berhak mengatakan dan menuntut kasih total seperti ini dan sekarang Yesus kepada keduabelas rasul berkata, “kamu harus mengasihi Aku seperti itu, kalau tidak, engkau tidak layak bagiKu”. Menyatakan secara implisit, di sinilah Aku Allah yang hadir. Ia tidak bermaksud agar muridNya membenci orangtua, anak-anak dan saudara saudari tetapi mengajak mereka meningkatkan kualitas cinta dengan mencintai Allah yang adalah DiriNya sendiri, Yesus Putra Allah. Tanpa kasih itu, mereka tak layak menjadi murid. Maka kelayakan ditentukan bukan oleh apa yang mereka lalkukan, jasa ataupun pertobatan dari dosa, tetapi oleh cinta total, tidak terbagi, pada Tuhan. Maka dalam doa komuni, “ya Tuhan, saya tidak pantas, karena apa? Kita berdosa! Maka kita membuat pantas dengan mengasihi Ia secara total, memusatkan diri secara penuh, sebelum menyambut komuni, maka saya menjadi pantas dan dibuat pantas oleh Allah.

Orang diminta mengasihi Allah agar mencintai sesama. Dalam Bacaan Pertama Elisa disambut oleh suatu pasangan suami istri yang sudah lanjut dan tidak memiliki anak. Mereka berbuat baik kepada Elisa sebagai abdi Allah bukan karena perbuatan baik semata, tetapi mereka melihat kehadiran Allah di dalam diri Elisa. Perbuatan baiknya sama tapi maknanya berbeda. Maka ganjarannya pun berbeda, mereka mendapat mukjizat, ganjaran karunia anak yang sudah dinantikan sejak lama. Misteri ini juga, yang diajak kepada kita untuk mampu melihat kehadiran Allah, kehadiran Yesus di dalam diri sesama sebagai Tubuh MistikNya. Maka Yesus mengajak kita juga, “lihat, kehadiranKu di dalam diri sesama”, Ia menyatakan misteri gereja, komunitas murid sebagai Tubuh MistikNya. Maka sikap orang atau sikap kita kepada para murid, kepada para gereja adalah sikap kepadaNya juga, hingga orang menyadari kehadiran Kristus akan mendapat ganjarannya. Memberi minum pada orang yang lemah, menyambut mereka seperti menyambut Kristus. Misteri itu juga disampaikan Yesus dengan sangat padat di dalam Injil hari ini. Bagaimana mungkin seorang bisa melihat kehadiran Yesus kalau ia tidak mencintai Yesus? Untuk itulah Yesus pernah berkata, “Aku berkata kepadamu sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku (Matius 25:40). Untuk sampai pada kemampuan itu, Yesus mengajak kita menyangkal diri, memikul salib.

 

Saudara saudari yang terkasih,

hari ini kita disadarkan akan rahmat baptisan dan daya luar biasa dari pembaptisan yang mengubah kita, baik secara simbolik melalui upacara ritual dengan nama baptis baru. Namanya siapapun terlahir, tetapi diberi nama baptis yang luar biasa, dan secara sakramental, berpartisipasi, ambil bagian dalam misteri Paskah, wafat dan kebangkitan Kristus. Hidup lama dikuburkan, maka tiga kali dikucuri, jaman dulu tiga kali dibenamkan, itu ada maknanya : pertama, dikucurkan yang pertama : manusia lama dikuburkan, manusia lama dengan dosa dikuburkan dalam dosa. Dikucurkan yang kedua : manusia hidup baru dibangkitkan. Dan yang dikucurkan yang ketiga : hidup kini, hidup dalam Kristus dan mati dalam dosa. Itu adalah peristiwa seperti Yesus dikubur, Yesus bangkit dan Yesus yang mulia, yang tubuhNya tidak dikuasai lagi oleh badan tetapi hidup mulia. Demikian orang yang dibaptis hidup mulia, sekalipun masih berdosa tetapi tidak dikuasai dosa dan maut. Hidup mulia ini harus terus dijaga dengan mengasihi Allah dengan segenap hati, budi, tenaga dan pikiran. Luar biasa! Makna rahmat sakramen baptis mengubah hidup kita. Untuk itulah Yesus meminta para muridNya bukan soal komitmen saja, tetapi kasih total kepadaNya yang menjadikan dasar bagi kasih kepada sesama dan diri. Orang-orang seperti inilah yang akan ‘hidup’ penuh sukacita dan damai sejahtera di manapun, kapanpun dan dalam situasi apapun, ia/mereka berada.


27 Juni 2020 Sabtu Pekan Biasa XII


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Sabtu Pekan Biasa XII 27 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I Rat 2:2.10-14.18-19
Mazmur Tanggapan Mzm 74:1-2.3-5a.5b-7.20-21
Bacaan Injil Mat 8:5-17

Saudara saudari yang terkasih,
kita sering mendengar kesaksian orang yang mengalami mukjizat kesembuhan dan kepulihan dari sesuatu masalah yang parah yang tak mungkin ada jalan keluarnya menurut ukuran manusia. Bisa jadi kita bertanya, apa rahasia rahmat istimewa itu? Mengapa ia/ mereka mendapat mukjizat besar? Mengapa saya tak mendapat mukjizat dan rahmat khusus tersebut, padahal saya sudah mohon tanpa henti? Kehendak Allah lain dari keinginan manusia. Allah tahu dan memberikan yang terbaik bagi manusia, bukan semata karena jasa dan doa manusia. Meski demikian, doa, cinta kita sebagai wujud iman sangat berkenan kepada Allah, hingga Ia mengabulkan harapan kita. Kita diajak beriman seperti Perwira Roma yang percaya akan kuasa Allah dalam diri Yesus.

Saudara saudari yang terkasih,
pernah ada orang memberi kesaksian, sebelum dioperasi, seorang Ibu diperiksa ulang oleh dokter setelah didoakan, hasilnya mengagetkan, sembuh! Tak perlu operasi. Seorang bayi mengalami kelainan jantung, tak ada cara lain kecuali operasi. Orangtuanya ikut perayaan Ekaristi dan berdoa dalam perayaan Ekaristi, mohon kesembuhan untuk anaknya. Sembuh! Secara ajaib masalah jantung selesai. Seorang yang punya masalah ekonomi, berdoa dalam perayaan Ekaristi, juga dalam live streaming ini kesaksiannya, meminta kepada Tuhan saat hosti diangkat, ada jalan keluar. Orangtua yang ada konflik dengan anak-anaknya lama, didoakan dalam perayaan Ekaristi, secara tiba-tiba terjadi kerukunan yang luar biasa. Kita ingat pernah ada ilustrasi seorang Opa yang merasa bahwa setiap hari adalah mukjizat. Karena ternyata setiap hari hidup, bernafas. Setelah bangun kok masih hidup, sementara banyak orang yang seumurnya, tidur tidak bangun lagi. Yang baginya kehidupan itu adalah mukjizat. Jadi mukjizat tidak harus selalu besar, tapi harian kita alami. Maka kalau demikian, setiap orang pernah mengalami mukjizat, tetapi apakah kita menyadari bahwa itu adalah mukjizat? Mukjizat adalah sesuatu yang bukan karena usaha  dan jasa kita, ternyata kita mendapatkannya, sesuatu keajaiban.

Saudara saudari yang terkasih,
Yesus berhadapan dengan seorang Perwira Roma yang percaya akan kekuasaanNya yang mampu menyembuhkan. Perwira ini adalah orang terhormat, pejabat tinggi, disegani dan mungkin juga ditakuti, tapi ia tetaplah seorang asing yang tidak tahu menahu tentang Allah, tidak diperhitungkan sebagai orang yang berhak mendapat berkat Allah, sebagai outsider, orang dari lingkungan luar, tetapi ternyata mampu melihat kehadiran Yang Maha Kuasa, Allah di dalam diri Yesus. Keyakinan ini menjadi iman, hingga Yesus tergerak untuk menyembuhkan.
Iman adalah kerendahan hati, keluar dari diri sendiri, bukan memikirkan diri sendiri, tetapi tertuju kepada Allah dan juga iman keluar dari diri sendiri, memikirkan orang lain.
Maka ia berdoa meminta bukan untuk dirinya sendiri, tetapi hambanya. Siapakah hambanya? Hamba dibandingkan dengan Centurion, orang yang tidak … njomplang, tetapi orang yang hina, orang yang membutuhkan belas kasih. Ia mengarahkan kepada orang itu. Iman, kerendahan hati, keterbukaan, keluar dari diri sendiri, yaitu pengakuan diri tak pantas di hadapan Tuhan tetapi rindu dan butuh berkat Allah serta kepercayaan penuh kepada kuasa Allah dan kehendak Allah yang dirumuskan dengan kata-kata luar biasa, yang kini menjadi doa sebelum komuni : “Tuhan aku tidak layak menerima Tuhan dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku akan sembuh”. Luar biasa! Bersabdalah saja mengingatkan Kitab Kejadian, Allah bersabda maka jadilah, pengakuan yang luar biasa. Perwira itu begitu yakin akan kesembuhan hambanya jika Yesus mau. Sebagaimana pengalaman ia, yang punya kuasa pada bawahan, lakukan - lakukan, tidak – tidak, melakukan, maka Yesus pun dengan kuasaNya terhadap penyakit, terhadap malapetaka, bisa melakukannya. Perwira itu begitu yakin akan kesembuhan hambanya jika kuasa Yesus dilaksanakan. KuasaNya melampaui ruang dan waktu. Berbeda dengan tabib yang membutuhkan datang pada waktu tertentu melakukan upacara. Tak dibatasi oleh tempat dan saat tertentu, bandingkan dukun yang membutuhkan upacara-upacara tertentu, gerakan-gerakan tertentu, Yesus tidak. Dan belas kasihNya mengatasi sentuhan dan kehadiran fisik yang menggambarkan hanya Allah yang mempunyai kuasa seperti itu. Tidak berbuat apa-apa, tidak melakukan tindakan apa-apa, hanya bersabda saja. Bukankah ini iman yang mewartakan bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, yang menjadi isi iman kita. Bangsa Israel dikunjungi dan diberitahu oleh nabi berkali-kali tetapi tidak menangkap siapakah Yesus ini. Perwira Roma mampu menangkap siapakah Yesus yang sebenarnya. Bagi Perwira itu kesembuhan hambanya bukan hak karena jasa dan cintanya, tetapi anugerah dan belas kasih Allah. Maka ia tidak menuntut Yesus menyembuhkan, tetapi sangat memohon dengan penuh harapan. Kesembuhan hambanya tergantung dari belas kasih Allah. Yesus heran, “sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel. Iman yang mengakui Yesus sebagai Allah, Putra Allah, kehadiran Allah Yang Maha Kuasa.

Saudara saudari yang terkasih,
Yesus yang sama hadir secara sakramental dalam perayaan Ekaristi yang adalah karya penebusan. Sebelum menyambut komuni kita mengulangi doa penuh iman Perwira tersebut dengan gubahan, “ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh”. Itulah daya Ekaristi sebagai penyembuh, baik secara rohani maupun secara badani. Dalam komuni kita akan ambil bagian dalam kehidupan Ilahi, maka kita berkata, kita tak pantas, tetapi Allah telah membuat pantas. Seperti kata Paulus dalam Kolese 1:12, mengucap syukur dengan sukacita kepada Allah yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian, dalam apa yang ditentukan oleh orang-orang kudus dalam Kerajaan Terang. Karena anugerah itu kita berharap, bersabdalah saja yang menunjukkan kuasa Allah Bapa dalam sabda PutraNya. Dalam iman seperti itu kita berharap, “maka saya akan sembuh”, baik secara badani maupun pulih secara rohani. Kita mohon belas kasih Tuhan, pasrah tanpa mengatur, tanpa mendikte Allah, karena yakin apa yang dikehendaki Allah adalah yang terbaik bagi kita. Kita berharap seperti Perwira itu, Yesus menjawab, “pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya!”

Friday, June 26, 2020

26 Juni 2020 Jumat Pekan Biasa XII

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Jumat Pekan Biasa XII 26 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I 2 Raj 25:1-12
Mazmur Tanggapan Mzm 137:1-2.3.4-5.6
Bacaan Injil Mat 8:1-4

Saudara saudari yang terkasih,
pandemi covid19 bisa membuat orang ‘sekarat’, mati selagi masih hidup, karena berbagai kesulitan yang tak terduga. Keadaan ini diperparah oleh keputusasaan dan sikap apriori bahwa semuanya tak mungkin diperbaiki. Orang sakit merasa percuma untuk berobat, orang bersalah merasa sia-sia untuk berubah, dan orang gagal merasa untuk apa lagi berusaha. Injil hari ini mengajak kita untuk tidak putus asa, mukjizat Yesus menyembuhkan orang kusta, penyakit yang pada jaman itu diyakini hanya bisa disembuhkan Allah, menyatakan harapan bagi setiap orang yang merasa tak berdaya dan seakan menemui jalan buntu. Ada kesempatan menjadi baik bagi mereka yang mau sembuh dan pulih, asalkan mereka mau datang kepada Yesus.
Pernah seorang Bapak yang diberi Sakramen Perminyakan tanpa harapan sembuh, tiba-tiba pulih. Waktu pulih ia berkata, “saya bisa sembuh karena begitu semangat untuk sembuh, karena mencintai anak dan istri”. Dan dibalik itu, istri dan anak-anaknya sungguh berdoa, berharap penuh pada Tuhan, merayakan Ekaristi dan minta intensi Ekaristi. Ada mukjizat, suatu keadaan putus asa menumbuhkan harapan di hadapan Tuhan.

Saudara saudari yang terkasih,
seorang kusta datang kepada Yesus untuk disembuhkan. Ini bukanlah hanya keinginan sembuh yang bersifat individual, tetapi juga kemauan kuat untuk tidak menjadi gangguan sosial bagi sesama dan agar tidak mengalami keterasingan spiritual dengan cara berdamai dengan Allah. Penyakit kusta menyebabkan orang tidak aman dan tidak nyaman apalagi mengalami damai sejahtera. Jika orang bertemu dengan penderita kusta, ia menghindar supaya tidak menjadi najis dan lari takut tertular. Maka ia harus membunyikan lonceng dan berkata “najis – najis”, dengan kata lain, “terkutuk, terkutuk, terkutuklah saya”. Ada rupa yang buruk, ada bau yang tidak enak dan ada situasi yang meresahkan. Penyakit kusta bukan hanya menyebabkan penderita menjadi orang asing dan terbuang, disuruh tinggal di tempat tersendiri, tetapi juga membuat masyarakat tercemar dan kehidupan sosial terganggu, serta membuat diri tersingkir dari rumah ibadat, tempat kudus, sumber rahmat. Artinya orang itu sudah dianggap mati, tidak ada lagi. Orang kusta bukan hanya kehilangan martabatnya sebagai manusia, tetapi juga kehormatannya sebagai warga masyarakat dan kesuciannya sebagai umat Allah. Orang ini sudah tidak ada lagi. Tidak tercatat lagi dalam kehidupan. Dengan datang dan memohon kepada Yesus, “Tuhan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku”. Si kusta yakin, bahwa jalan buntu ini, keputusasaan kematian ini bisa dipulihkan kalau datang kepada Yesus, “Tuhan, jika Tuhan mau, Tuhan dapat mentahirkan aku”. Si kusta peduli pada keselamatan dirinya lahir dan batin serta pada kesejahteraan bersama. Inilah gerak pertobatan, metanoia, menuju pembaharuan hidup, transformasi. Tanpa menunda, Yesus menyembuhkannya, “Aku mau, jadilah engkau tahir”. Ia sembuh, terjadi pemulihan kesehatan personal, sosial dan spiritual sekaligus. Kini ia bisa bergaul dengan orang lain dengan aman dan nyaman serta bisa pergi dengan penuh syukur menghadap Imam di rumah ibadat.
Saudara saudari yang terkasih,
masing-masing dari kita mempunyai kesulitan dan kesusahan sendiri. Apakah mau berdiam diri saja atau berusaha mencari pemulihan? Datang kepada Tuhan! Pada Hari Orang Sakit Sedunia, 11 Februari 2012, Sri Paus Benediktus mengajak kita untuk mengubah masa penderitaan, kesulitan, menjadi masa rahmat, masa pemulihan. Saya kutip, “seringkali dalam penderitaan orang digoda untuk menjadi putus asa dan kehilangan harapan, tetapi dengan menyadari penyertaan Tuhan, masa ini  bisa diubah menjadi masa rahmat untuk mawas diri, untuk mengevaluasi kembali hidup seseorang, mengakui kegagalan dan kesalahan, membangkitkan kerinduan akan Bapa dan mengikuti jalan menuju rumahNya.
 Saudara saudari yang terkasih,
mari kita buang apriori bahwa penyakit dan penderitaan dari Tuhan. Mari kita membuka diri dengan penuh iman dan harapan, berseru kepada Tuhan, “Tuhan, jika Engkau mau, Engkau dapat memulihkan aku”. Dan kita berharap Tuhan menjawab, “Aku mau, pulihlah! Aku mau, sembuhlah!”

25 Juni 2020 Kamis Pekan Biasa XII

24 Juni 2020 Hari Raya Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis

Tuesday, June 23, 2020

23 Juni 2020 Selasa Pekan Biasa XII


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Selasa Pekan Biasa XII 23 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I 2 Raj 19:9b-11.14-21.31-35a.36
Mazmur Tanggapan Mzm 48:2-3a.3b-4.10-11
Bacaan Injil Mat 7:6.12-14

Saudara saudari yang terkasih,
salah satu godaan untuk meraih cita-cita dengan cepat adalah mencari jalan pintas walau bukan jalan terbaik. Orang cenderung mencari cara gampang untuk mewujudkan keinginannya meski cara tersebut salah. Baginya yang penting adalah cepat, walau tak tepat. Di balik tendensi tersebut ada mentalitas rata-rata yang tidak mau bekerja keras, moralitas labil yang bisa menghalalkan cara dan spiritualitas dangkal yang mengabaikan suara hati dan bisikan yang Ilahi. Maka kalau dinasehati dan dikoreksi, orang ini dengan cepat akan berkata, istilah bahasa sundanya, kumaha engke, ya nanti bagaimana, bukannya engke kumaha, nanti apa yang akan terjadi. Pokoknya jalankan dulu, nanti ya terserah. Justru kita harus berpikir, kalau kita berbuat sesuatu sekarang, nanti apa konsekuensinya, bukan terserah nanti. Hal ini membuat banyak orang gagal, tertipu, bangkrut, sengsara, masuk penjara dan akhirnya tak bahagia.

Saudara saudari yang terkasih,
orang ingin cepat kaya tapi tak mau bekerja keras, hingga tergoda menipu, mencuri dan korupsi. Akhirnya ia ketahuan dan sengsara di penjara. Anak ingin nilai baik, tetapi tak mau belajar tekun sesuai kemampuannya, hingga menyontek, akhirnya tidak lulus, bahkan mungkin dikeluarkan dari sekolah favoritnya. Orang ingin untung besar, hingga bisnis barang terlarang dan usaha ilegal, akhirnya diciduk polisi. Setelah mall dibuka ada sale besar-besaran, ada godaan untuk berburu sale yang besar-besaran, bisa jadi ada orang yang ingin praktis, tak mau pakai masker, malas cuci tangan, tak peduli kerumunan dan antrian tanpa mengatur jarak serta tak berpikir, apa akibatnya nanti, kumaha engke.

Saudara saudari yang terkasih,
itulah contoh jalan lebar yang lebih banyak dipilih orang karena lebih mudah bagi orang yang tidak suka bersusah-susah, walau mungkin bisa mengantar pada malapetaka. Kalau dalam kehidupan sehari-hari orang menggampangkan banyak hal tanpa peduli pada norma sosial yang berlaku, bagaimana orang akan serius untuk hidup kekal dengan peduli pada nilai-nilai spiritual. Yesus mengajak kita memilih jalan yang mengantar pada kehidupan, yang membutuhkan usaha, keringat, tetesan air mata, mungkin juga titik darah. Jangan tergoda pada jalan lebar, santai, mudah, enak, yang mungkin bisa membawa kepada kebinasaan. Sabda Bahagia sebagai nasehat spiritual kehidupan kekal bagaikan harta surgawi yang kudus atau mutiara berharga, sudah diberikan Yesus kepada kita. Nasehat yang didasarkan pada hidup miskin dalam Roh, yaitu disposisi batin yang mau dibentuk dan mengandalkan Allah, menjadi dasar hidup murid Yesus yang menuntut standar moralitas dan spiritualitas sesuai kaidah emas: segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Jika kita tak mau dicubit, janganlah mencubit. Jika kita mau dihormati dan dicintai, hormatilah dan cintailah orang.

Saudara saudari yang terkasih,
pernah ada seorang pengusaha bercerita, bahwa ketika anaknya lulus, ia tidak langsung bekerja di perusahaannya, tetapi diminta oleh ayahnya untuk bekerja di perusahaan lain, supaya merasakan bagaimana menjadi karyawan, supaya ia bisa menjadi karyawan yang baik. Jalan sempit, susah, tidak dipilih oleh banyak orang, tapi ayahnya berkata, “kamu harus bekerja, mengalami sebagai karyawan yang baik, supaya bisa menjadi pemilik, owner, pengusaha yang baik pula.

Saudara saudari yang terkasih,
Sabda Bahagia yang begitu luhur bagai barang kudus dan begitu mahal bagaikan mutiara, kita letakkan di mana sekarang? Disimpan, dilupakan atau dibuang bagaikan diberikan pada anjing dan dilemparkan pada babi? Jangan sampai kita mendengar banyak Sabda Allah dan setuju dengan isinya yang baik, tetapi lewat begitu saja tanpa menghasilkan buah. Untuk mewujudkan Sabda Bahagia perlu latihan rohani yang ketat. Orang tidak hanya puas dengan misa virtual tapi juga sungguh rindu dengan misa riil. Dan ketika sudah memungkinkan, aman dan nyaman, iapun pergi dengan penuh semangat. Perlu pembinaan mental yang serius, orang tidak hanya cari gampang, tetapi cari mana yang benar. Tidak cari cepat tetapi cari mana yang paling tepat. Dan perlu pendidikan moral yang dalam, orang tidak sekedar tahu baik dan yang buruk, tapi sungguh melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat. Melalui pembentukan mental, moral dan spiritual yang menjadi bekal bagi hidup sosial, kita bukan hanya akan sukses di mata manusia, tetapi juga berhasil di hadapan Allah.
Mari kita tinggalkan sikap minimalis dan cari gampang dengan berbuat lebih dari tuntutan standar norma sosial dan nasehat spiritual, karena seperti Mazmur 126:5 “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata akan menuai dengan bersorak sorai”.

Monday, June 22, 2020

22 Juni 2020 Senin Pekan Biasa XII


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Senin Pekan Biasa XII 22 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I 2 Raj 17:5-8.13-15a.18
Mazmur Tanggapan Mzm 60:3.4-5.12-13
Bacaan Injil Mat 7:1-5

Saudara saudari yang terkasih,
menuntut orang lain itu lebih mudah daripada meminta diri sendiri untuk berbuat sesuatu. Mengatur orang lain itu lebih biasa daripada menata diri sendiri. Memimpin orang lain mungkin lebih gampang daripada mengarahkan diri sendiri. Demikianpun mencari kelemahan sesama lebih cepat daripada mawas diri, menemukan kesalahan pribadi. Mencari kekurangan sesama lebih spontan daripada mengoreksi diri, meneliti kekurangan pribadi, menyingkirkannya dan memperbaiki diri, guna membantu sesama. Tak mungkin orang yang matanya terhalang balok akan mudah menyingkirkan selumbar kecil, serpih, dalam mata orang lain.
Ada suatu ilustrasi, pernah dalam suatu Persekutuan Doa, sebelum puji-pujian, seorang Ibu pemimpin mengingatkan umat untuk mematikan handphone dengan keras,
“Saudara, tolong matikan handphone! Mengganggu ibadat. Begitu masuk ruang ini, matikan, fokuskan hati, budi, energi untuk Allah. Coba, siapa yang biasa handphonenya berbunyi?”
Ia mencari orang yang biasanya handphonenya berbunyi selalu dalam ibadat, ternyata tiba-tiba berbunyilah handphone dan meledaklah dia,
“baru saja diomongi, itu handphone siapa? matikan cepat!”
Orang bergerak ke sana ke mari, menengok ke sana ke mari, dan handphone itu terus berbunyi. Dan seorang berkata,
“mohon maaf Bu, handphone itu berbunyi dari tas ibu”.
Rupanya ia sendiri yang lupa mematikan handpone, dengan malu ia berkata,
“mohon maaf, saya lupa”.

Saudara saudari yang terkasih,
Orang-orang Farisi dan Ahli Taurat rupanya suka mencari-cari kelemahan orang lain untuk menyembunyikan kekurangan. Kata penghakiman dalam kerangka itulah, menghakimi dengan mencari kelemahan, bukan sekedar menilai. Yesus bukan mengatakan jangan menilai tapi jangan menghakimi menurut cara mereka, sedangkan mereka cenderung mengamati kedosaan sesama agar tampak saleh. Mereka suka menggurui masyarakat seolah mereka adalah orang yang serba tahu, kaum terdidik, orang kudus. Yesus melihat kebutaan mereka akan Kerajaan Allah, karena tertutup balok kesombongan, hingga tak dapat melihat siapakah Yesus yang hadir ada di hadapannya, yang sesungguhnya adalah Mesias, yang mereka ajarkan dalam Kitab Suci, yang mereka nantikan dan mereka doakan. Bagaimana orang yang tidak bisa melihat karena matanya terhalang balok, dapat melihat kelemahan orang lain dengan mudah? Yesus meminta mereka pertama-tama untuk mengambil balok yang ada di mata mereka, sebelum menyingkirkan selumbar saja, serpih pada mata orang lain. Yesus menuntut mereka yang munafik untuk melek terlebih dahulu, agar tahu jalan yang benar, agar tak memberi tahu jalan yang salah kepada orang lain. Bertobat lebih dahulu sebelum mengajak orang lain untuk bertobat. Mereka terlalu mudah menghakimi dengan mencaci maki orang lain, sementara mereka tak mau bermawas diri, terbuka pada karya Roh Kudus untuk memperbaiki diri.

Saudara saudari yang terkasih,
pepatah bagai padi makin berisi makin merunduk, mengajak kita untuk rendah hati dan mawas diri. Makin kita berilmu tinggi, bermoral matang dan beriman dalam, kian kita rendah hati. Makin kita berposisi tinggi, kian mampu membumi. Makin kita berelasi luas, kian kita bertenggang rasa terhadap sesama yang berkekurangan dan mempunyai kelemahan. Namun masih ada sayangnya, orang yang makin meningkat status hidupnya, ternyata kian sombong, menjadi sok benar, sok pintar dan sok suci. Ia tak mau ditegur, tapi lebih suka usul, seolah pikirannya paling bagus. Rasanya gatal mulutnya kalau tak usul dan suka menegur, seakan dirinya yang paling benar.
Marilah saudara saudari yang terkasih, menyadari bahwa setiap orang memiliki kekurangan, hingga kita tak mau dan tak mampu mengikuti bimbingan Roh Kudus dengan baik dengan mendengar.
Mari sadarilah kekurangan-kekurangan ini, hingga kita dapat mengikuti bimbingan Allah, melalui orang-orang yang berkompeten, yang berkapasitas di dalam bidangnya. Jangan sampai kita merasa benar karena sudah bisa dan sudah terbiasa melakukan sesuatu, tetapi mungkin menyakitkan dan merugikan sesama.
Marilah kita mawas diri, yaitu dengan rendah hati menyadari kelemahan sendiri, agar tidak mudah menuduh dan menghakimi orang lain atau mengatai-ngatai dengan kasar dan tak pantas tanpa memberi jalan belas kasih kepadanya. Maka Yesus menegur dengan keras, “hai kamu orang munafik! Keluarkan dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu!”

Sunday, June 21, 2020

21 Juni 2020 Hari Minggu Biasa XII


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Hari Minggu Biasa XII 21 Juni 2020
Gereja Santo Petrus Katedral Bandung


Bacaan I Yer 20:10-13
Mazmur Tanggapan 69:8-10.14.17.33-35
Bacaan II Rom 5:12-15
Bacaan Injil Mat 10:26-33

Saudara saudari yang terkasih,
setiap orang pernah mengalami ketakutan dengan berbagai alasan yang berbeda-beda. Ada orang yang mengalami fobia, yaitu rasa takut yang berlebihan terhadap sesuatu yang tak langsung mengancam hidupnya. Misalnya, ada orang tinggi besar, berotot, berkumis, berkendaraan motor besar, bisa lari terbirit-birit melihat tikus lewat. Orang anggun, halus, lemah lembut, bisa mengumpat kasar dan berteriak histeris saat didekati oleh kecoa. Melihat itu kita tertawa, tapi kalau kita berada dalam situasi pengalaman traumatik, luka batin orang tersebut, kita bisa memakluminya. Ada ketakutan subyektif, yaitu akibat perasaan dan pengalaman tertentu di masa lampau. Ada juga ketakutan objektif karena ada barang, ada orang, ada binatang, ada situasi yang mengancam hidupnya. Ketakutan ini hilang jika objeknya disingkirkan, kalau ada sesuatu atau seseorang yang lebih kuat, yang diandalkan, bisa mengatasi ketakutan tersebut.

Ada satu ilustrasi, ada kebakaran, di tengah kegelapan asap dan panasnya api, seorang anak menangis di bibir jendela apartemen di lantai lima. Tim penyelamat sibuk menyiapkan matras untuk menyangga anak itu dan mereka berkata,
“Nak, loncat! Nak hayuk loncat!”
Kalau tidak, bisa mati kehabisan nafas oleh asap dan bisa dilalap api. Anak itu melihat ada matras di bawah, tapi makin keras ia menangis,
“takut!”
Dan suara mike pun makin sepi karena miris mendengar jeritan anak yang memanggil,
“Bapa… Bapa… ke sini! Saya takut, Bapa!”
Tiba-tiba terdengar suara,
“loncat!!!”
Dan anak itu loncat dan selamat. Hanya dengan satu kata ‘loncat!’ Semua orang heran, betapa wibawa dan kuasanya orang ini menyuruh anak loncat. Sementara tadi banyak orang berteriak loncat, loncat, tidak loncat tapi satu kata loncat dan loncat. Orang yang berkata itu segera berlari mendekati matras dan memeluk anak itu. Ia adalah ayahnya. Walaupun anak itu tidak melihat ayahnya ada di sana, ia kenal suara ayahnya. Mendengar suara ayahnya yang mengasihinya, ‘loncat!’ Dan pasti kalau ayahnya berkata loncat, ayahnya tahu bahwa anaknya akan selamat, tidak akan mencelakakannya. Itulah loncatan iman yang mengatasi ketakutan.
Tidak seperti seorang ateis yang berlari-lari lalu jatuh ke jurang. Waktu dalam perjalanan ke jurang, ada pohon di bibir jurang dan ia berhasil menangkap, dan selamat. Tapi masalahnya, naik ke atas tidak bisa, turun ke bawah mati. Tidak percaya pada Tuhan, dan ia berkata,
“Tuhan, saya tidak percaya padaMu, tapi seandainya Engkau ada, tolong dan selamatkan aku!” Seandainya Engkau ada, dan tiba-tiba ada suara,
“Aku ini Tuhan!”
“Betulkah?”
“Iya!”
“Tolong, Tuhan!”
“Baik, lepaskanlah tangan itu!”
“Gila kau Tuhan! Mati aku!”
Itulah ateis. Seorang yang percaya akan langsung lepaskan, apa yang terjadi yakin Tuhan akan menyelamatkan.

Saudara saudari yang terkasih,
konteks Injil adalah perutusan para murid, yang diutus seperti domba ke tengah serigala. Yesus meneguhkan para murid untuk menjadi pribadi yang berintegritas, yaitu setia sebagai murid Yesus di tengah ketidaknyamanan dan ancaman badani serta untuk menjadi pribadi yang berhati nurani, yaitu setia pada panggilan suci di tengah berbagai godaan dan kenikmatan untuk menikmati sesuatu, tetapi mengkhianati nilai-nilai Injil. Yesus meminta mereka untuk tidak takut terhadap berbagai ancaman. Ada tiga hal - yang hari ini tidak dibaca, tetapi konteksnya ada di belakang –
Pertama, jangan takut kepada ancaman penganiayaan, yaitu ketidak nyamanan fisik dan psikis akibat difitnah, dengan hate speech ataupun hoax hingga mereka dibenci, dicaci bahkan disiksa. Kebenaran, kata Yesus, yang selama ini tersembunyi akan dibuka, akan dibeberkan siapa yang akan benar.
Kedua, jangan takut pada kematian, yaitu lemahnya dan hancurnya tubuh, sebagai konsekuensi ketaatan menjalankan perintah Tuhan. Ancaman dunia terbatas sedangkan kuasa Allah tidak terbatas, mengatasi daya apapun di dunia. Ia dapat memusnahkan bukan hanya tubuh, tetapi Tuhan juga dapat memusnahkan jiwa.
Ketiga, jangan takut terhadap pengalaman luka, baik secara fisik maupun psikis, karena setia kepada hati nurani, karena kita sangat berharga di hadapan Allah. Kalau burung pipit saja dipelihara, apalagi manusia yang adalah Citra Allah. Keyakinan dan pengalaman  akan Kasih Allah ini menumbuhkan loncatan iman agar orang berani bertahan dalam integritas dan setia pada hati nurani. Kalau melakukan apa yang diminta Tuhan, kita pasti selamat. Yeremia dalam Bacaaan Pertama, menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan ketika mendapat ancaman, caci maki dan usaha pembunuhan dari orang-orang yang membencinya. Akhirnya dinyatakan dan dibuka, bagaimana kuasa Allah nyata. Jangan kita minta Tuhan, tetapi tak percaya kuasaNya, seperti ateis tadi, sehingga terus berteriak tanpa mau meloncat. Iman berarti percaya pada Kuasa dan Kasih Allah.

Saudara saudari yang terkasih,
di tengah pandemi covid19, pengalaman tak adil atau diperlakukan tidak adil, kesulitan ekonomi, rasa nyeri karena penyakit, duka karena hate speech atau hoax dan belum lagi ketidak nyamanan akibat keberanian memberi kesaksian iman dan mewujudkan keyakinan, Yesus meneguhkan kita untuk tidak takut karena Kasih Allah yang luar biasa kepada kita dan kuasaNya yang mengatasi segala kekuatan apapun. Ia adalah Allah yang peduli, yang tidak akan membiarkan anak-anakNya menderita tanpa alasan dan mati tanpa menghasilkan buah. Dalam situasi gelap Yesus mengajak kita untuk percaya pada penyelenggaraan Ilahi yang bukan hanya peduli pada badan, tetapi juga Ia peduli pada keselamatan jiwa kita.  
Dalam hidup sehari-hari Yesus mengajak kita untuk percaya akan Kasih Allah pada kita, yang sangat berharga melebihi segala ciptaan apapun. Percaya pada kuasa dan penyelenggaraan Ilahi dan kasihNya ini akan membuat kita hidup tanpa takut, di tengah situasi apapun, berhadapan dengan siapapun. Yesus mengajar kita : jangan takut, loncat! Berbuatlah! Jangan berdiam diri! Mari hadapi situasi, jangan diatur oleh keadaan, oleh ‘nasib’. Mari mengatur situasi dan mengatur perjalanan hidup kita ke depan, sebagai pribadi yang berintegritas dan berhati nurani. Apakah kita mau loncat, jika Tuhan meminta walau kita tak tahu apa yang terjadi di sana? Tapi yakin Tuhan menghendaki kita untuk selamat.
Itulah Abraham yang pergi dari daerah nyamannya untuk pergi ke tempat yang tidak jelas, tetapi diminta oleh Tuhan, Ia segera berangkat. Itulah Yeremia yang menghadapi kenyataan dengan penuh kepasrahahan kepada Allah. Itulah contoh anak tadi dalam ilustrasi yang tidak melihat bapanya tetapi yakin bapanya ada dan ia meloncat. Itulah kita, seandainya kita berbuat sebagai pribadi yang berhati nurani dan berintegritas terutama di situasi saat ini, normalitas baru.

20 Juni 2020 PW Hati Tersuci Santa Perawan Maria

Friday, June 19, 2020

19 Juni 2020 Hari Raya Hati Yesus Yang Maha Kudus


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Hari Raya Hati Yesus yang Maha Kudus 
19 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I Ul 7:6-11
Mazmur Tanggapan Mzm 103:1-2.3-4.6-7.8.10
Bacaan II 1 Yoh 4:7-16
Bacaan Injil Mat 11:25-30

Saudara saudari yang terkasih,
setiap sembilan belas hari setelah Pentakosta, yaitu pada hari Jumat setelah Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, kita merayakan Hati Yesus Yang Maha Kudus, sejak ditetapkan oleh Paus Pius XIX tahun 1856 untuk menghormati Hati Yesus yang penuh belas kasih. Untuk mengimani misteri inkarnasi pribadi Putra Allah yang telah menjadi daging, di mana belas kasihNya tanpa batas, Ia wafat di kayu salib, TubuhNya ditusuk tombak dan mengalirlah air darah yang menjadi sumber sakramen-sakramen yang memberikan rahmat Ilahi kepada kita. Devosi pada Hati Yesus Yang Maha Kudus bukanlah sekedar sikap hormat dan bakti pada Yesus yang murah hati dan penuh belas kasih, tetapi juga niat untuk meneladan Yesus  hingga kita memiliki Hati Yesus yang rendah hati dan lemah lembut. Saat menghormati HatiNya kita juga mencintai Tubuh mistikNya yaitu Gereja. Maka orang yang berbakti kepada Hati Kudus Yesus, Hati Yesus Yang Maha Kudus, akan mencintai sesama yang juga dikasihi oleh Yesus.

Ada satu ilustrasi, seorang bocah berusia 12 tahun di San Salvador ditemukan di bawah mayat ibunya. Nenek dan tiga saudaranya mati ditembak. Ia dan satu saudarinya lolos. Teman-temannya berusaha menghibur, tapi melewatkan hari-harinya dengan tiada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Ia dikejar-kejar dendam, hingga hidupnya murung tanpa sukacita. Peristiwa kematian ibunya sudah menjadi beban, beban ini semakin besar dikala dendam menguasai hatinya. Dendam tidak bisa membangkitkan ibunya dari kematian, malah menyengsarakan dan membuatnya seolah-olah ia mati selagi hidup juga. Maka ia datang memohon pada seorang Imam untuk dilepaskan bebannya dan penderitaannya, “Bapa, Pastor, berdoalah bagiku, agar aku dapat mengampuni serdadu yang telah membunuh ibu dan adik-adikku. Saya tidak ingin hidup dalam kebencian di hati terus menerus”.

Saudara saudari yang terkasih,
dalam Injil Yesus mengajak orang yang berbeban berat karena penderitaan tertentu untuk datang kepadanya. Penderitaan menjadi semakin berat kalau orang menghadapinya dengan kasar, brutal, berontak dan protes, tanpa tahu alasan dan mencari makna di balik penderitaan itu. Kemarahan dan kebencian selalu terungkap dalam kata dan laku. Yesus menawarkan jalan baru agar penderitaan itu lenyap meskipun beban tetap ada. Yesus tidak menghilangkan beban, Ia membebaskan manusia bukan dengan mengambil beban, tetapi mengubah cara menanganinya, yaitu dengan lemah lembut. Ada orang yang diambil bebannya, tetapi ada juga yang dibiarkan, tetapi Yesus mengajaknya untuk bersama-sama memikul beban. Ia membebaskan manusia bukan dengan mengambil beban tetapi mengubah cara orang menanganinya, orang diajar belajar lemah lembut : apa yang keras menjadi lembut, apa yang bengis menjadi halus, yang buas menjadi jinak dan yang kasar menjadi sopan serta yang liar menjadi tenang, yang benci menjadi cinta. Yesus mengundang kita untuk memikul kukNya. Kuk atau gandar adalah kayu yang ditaruh di atas punggung ternak, kerbau atau sapi untuk membajak. Jadi harus ada dua kuk. Yesus itu adalah seorang tukang kayu, Ia biasa membuat kuk. Dan kuk atau gandar yang dibuat Yesus itu enak karena customized, disesuaikan dengan kerbaunya, jadi enak dipakai. Jadi Yesus tahu cara membuatnya. Maka kuk yang dipasang Yesus itu enak dan bebannya ringan, jika dihadapi seperti yang diminta oleh Yesus yaitu dihadapi bersama. Sebagaimana kuk itu ditempatkan pada dua ekor sapi, demikianlah ketika kita menarik beban hidup diberi kuk, kuk yang satu di bahu kita dan kuk yang satu lagi di bahu Yesus. Kita membiarkan Yesus untuk menanggung bersama-sama. Kita berjalan bersama-sama dengan Yesus, sehingga beban bajak yang dilakukan itu menjadi lebih ringan. Lemah lembut berarti selalu bersikap sabar dan sadar, lemah harus tunduk taat kepada Allah, saya bisa salah, org lainpun bisa salah. Lemah lembut adalah hati yang penuh pengampunan dan belas kasih. Jalan hidup inilah yang tampak dalam diri Yesus yang tenang, walaupun banyak rintangan, karena Yesus memanggulnya bersama dengan Bapa dalam kesatuan dengan Roh Kudus.

Saudara saudari yang terkasih,
banyak orang menderita bukan semata-mata karena beban tertentu, beban itu sudah membuat kita menderita, tetapi ditambah oleh kekuatan beban yang lebih menekan, yaitu cara kita kasar, penuh dendam dan rasa terpaksa, tidak mengampuni dan tidak memaafkan. Mungkin kita juga berkata, sudah dibaikin kok begitu saja, kok kenapa tidak meminta maaf. Sudah diberi maaf kita bertanya kenapa dia tiba-tiba meminta maaf,  kalau tidak minta maaf dia, kita berkata kok seperti itu. Sudah diberitahu tidak bertobat juga, maka saya berkata, doakanlah! Biarlah Hati Yesus Yang Maha Kudus yang lemah lembut yang mengubah dirinya. Orang tidak bisa memaafkan sehingga hidupnya tertekan sendiri, seperti ilustrasi tadi di atas, anak San Salvador.
Orang suka curiga hingga berpikiran negatif pada orang lain. Orang bekerja keras mencari nafkah tetapi karena terpaksa maka merasa lelah dan sia-sia. Orang pergi ke gereja tanpa niat baik hingga merasa ke gereja hanya membuat diri bosan. Orang mendidik dan membesarkan anak tanpa kasih sayang, akan tersiksa, hingga muka cemberut, membuat kulit menjadi keriput. Perasaan dan sikap hati inilah yang seringkali menambah beban kita. Yesus mengajak kita untuk menanggung beban, kesulitan dan penderitaan dengan perspektif Yesus yang rendah hati dan lembah lembut, memaknai, mau apa Tuhan dengan penderitaan ini. Orang sakit marah-marah, tidak akan sembuh. Bagaimana kita menghadapinya dengan mengikuti nasehat dokter, memakan obat dan istirahat mungkin itulah yang akan menyembuhkan

Saudara saudari yang terkasih,
selain minta kita untuk memikul beban dengan perspektifNya, Yesus sekali lagi mengajak kita untuk memikul beban bersama-sama dengan Yesus, bukan berjuang seorang diri. Yesus adalah partner kita, teman kita, sahabat dan saudara kita untuk memikul beban bersama, hingga beban apapun yang kita alami akan terasa ringan, sebab kekuatan Yesus menopang beban kita.

Thursday, June 18, 2020

18 Juni 2020 Kamis Pekan Biasa XI


Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC
Misa Kamis Pekan Biasa XI 18 Juni 2020
Kapel Santa Maria Bunda Yesus
Wisma Keuskupan Bandung


Bacaan I Sir 48:1-14
Mazmur Tanggapan Mzm 97:1-2.3-4.5-6.7
Bacaan Injil Mat 6:7-15

Saudara saudari yang terkasih,
jika relasi dengan Allah beres, relasi dengan sesama, diri dan alam bisa dijamin, karena relasi dengan Allah adalah dasar dari relasi dengan yang lain. Komunikasi dengan Allah lewat doa menjadi tanda kelihatan dari relasi dengan Allah. Bagaimana orang berkata, “saya dekat dengan Tuhan” kalau ia tidak pernah kelihatan atau tidak punya waktu untuk berdoa. Yesus mengajar doa Bapa Kami yang menjadi model doa Kristiani. Pernah pada suatu konferensi lebih dari 30 tahun yang lalu, seorang pimpinan Universitas terkenal di Amerika berkata, sehari sebelumnya ia berbicara dengan Wakil Presiden, dua jam kemudian ia berbicara dengan Presiden Ronald Reagan, pendengar berdecak kagum karena dalam sehari ia bisa bertemu atau berbicara dengan dua orang pertama di Amerika. Menyaksikan reaksi itu, orang tersebut tersenyum seraya berkata, “pengalaman tersebut tidaklah berarti, jika dibandingkan pengalaman hari ini, pagi ini, saya berbicara dengan Tuhan dalam doa”. Seorang pejabat tinggi ternyata masih berdoa dan menganggap doa sebagai pengalaman yang berharga.

Saudara saudari yang terkasih,
murid-murid Yesus melihat kehidupan sosial dan pastoral Yesus berasal dari kehidupan spiritualNya. Yesus yang dekat dengan Allah begitu peduli pada manusia. Mereka ingin memiliki hati dan budi seperti Yesus, mereka ingin menjalin relasi yang baik dengan Allah seperti yang ditunjukkan oleh Yesus. Maka dalam perikop paralel Injil yang dibaca hari ini, yaitu pada Lukas 13:1, para murid berkata kepada Yesus, “ajarilah kami berdoa”, setelah melihat Yesus semalam-malaman berdoa. Yesus mengajar mereka berdoa singkat, padat, sederhanan dan penuh makna. Dalam doa yang lebih penting bukanlah isi doanya, tetapi relasi dengan Allah. Ada waktu, ada kesempatan yang khusyuk untuk berjumpa dengan Allah. Maka dalam doa kita diajak untuk tidak berusaha mengubah Allah, merayu seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah, disebutNya. Kita ingat Bacaan Pertama Rabu X, ada 400 Nabi Baal yang berdoa kepada dewanya, minta dikabulkan, tetapi tidak dikabulkan. Lalu berteriak-teriak, diejek oleh Elia, mungkin sedang tidur, mungkin tidak dengar, mungkin sedang pergi. Lalu sampai  menorah-noreh dengan tombak dan pedang, merayu supaya dewanya mengubah pikirannya dan segera menolong. Dalam berdoa kita tidak merangkai kata-kata panjang supaya Allah merubah, tetapi dalam doa justru kita berusaha merubah hati kita, merubah pikiran kita, supaya sesuai dengan kehendak Allah. Sebelum berdoa, dalam doa Bapa Kami, luar biasa! Hari ini kita diajak menyapa intim Allah sebagai Bapa. Para murid kaget, karena baru pertama, hari itu, Yesus mengatakan Allah BapaNya dengan Bapa kami yang ada di Surga. Orang disadarkan hubungan yang begitu dekat dengan Allah, sekaligus juga saudara dengan orang-orang yang sebapa, satu Bapa, Berdoa kepada Allah mengandaikan juga kesadaran kita kepada sesama sebagai saudara satu Bapa. Ada di Surga, lalu pertama kita mohon dimuliakanlah namaMu, lebih dari segalanya dalam Kerajaan kasih, sukacita dan damai, biarlah Kerajaan seperti itu datang dan menguasai hidup kita, hingga kita hanya tunduk kepadaNya. Terjadilah kehendakMu seperti di Surga, kerajaan dunia biasa dikuasai oleh kehendak manusia atau hasutan iblis. Baru yang keempat permohonan kita, berilah rejeki harian kami pada hari ini. Yang menurut, ada beberapa ahli berkata, sebetulnya kita mohon berilah kami roti, super substansia, roti kehidupan, yang mengarah kepada Ekaristi, ketika kita meminta roti kehidupan itu maka segalanya, seperti kata Yesus, dalam 6:33, “akan ditambahkan kepadamu”. Kita mohon rejeki harian dari Tuhan. Lalu yang kelima, mohon ampun agar kita juga mempunyai karunia pengampunan. Yang keenam, dibebaskan dari pencobaan atau ujian yaitu peirasmos dalam bahasa Yunani (nanti akan kita lihat sedikit) yang bisa mendatangkan pencobaan dan dibebaskan dari iblis atau dari yang jahat, yang  ketujuh.
Sebetulnya selesai homilinya, tetapi ada pertanyaan, beberapa pertanyaan, beberapa hari lalu, Romo Eddy bercerita, ada umat yang bertanya, apakah terjemahan Bapa Kami kita masih tetap sama? Bukankah Paus telah menyetujui perubahan, ‘jangan masukkan kami ke dalam pencobaan’ dengan ‘jangan membiarkan atau meninggalkan kami dalam pencobaan’. Tidak! Yang benar adalah, waktu para Uskup Indonesia mengadakan audiensi ad limina dengan Paus, saya mendengar sendiri secara langsung, bukan dari berita, bukan dari ‘katanya’, Paus berkata bahwa beliau menyetujui permohonan Konferensi Wali Gereja Italia, untuk mengubah terjemahan yang terakhir, yang bagi mereka itu lebih cocok. Paus berkata, “ya saudara-saudara lebih tahu rasa bahasa, maka silakan, maka Paus menyetujui”. Jadi bukan untuk seluruh dunia, kita tetap menggunakan terjemahan yang biasa. Kita lihat misalnya dalam Katekismus Gereja Katolik no 2846, janganlah membiarkan kami dalam pencobaan, kita memohon Bapa kita supaya jangan masukkan kita ke dalam pencobaan. Tidaklah mudah mengungkapkan dalam satu kata, ungkapan Yunani yang kira-kira berarti ‘janganlah membiarkan kami masuk ke dalam pencobaan’ atau ‘janganlah kami dikalahkan olehnya’, sebab Allah tidak dapat dicobai oleh si jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun (Yakobus 1:13). Ia malahan lebih banyak hendak membebaskan kita darinya. Di situlah sangat jelas Tuhan tidak mencobai untuk siapapun. Kita mohon kepadaNya supaya jangan membiarkan kita masuk ke dalam jalan pencobaan. Tuhan tidak membuat kita tertarik pada dosa, tetapi Tuhan membiarkan kita masuk dalam suatu ujian, maka peirasmos itu bisa ujian, tes, bisa pencobaan, ya menurut ahli. Maka peirasmos misalnya seperti ujian akhir, UAS, bukan untuk mencelakakan, tetapi untuk berhasil. Maka guru yang baik, kalau menguji itu bukan mau menjatuhkan muridnya supaya tidak lulus, tapi justru supaya muridnya itu naik tingkat, supaya muridnya maju. Maka ujian itu suatu cara untuk menumbuhkan kekuatan. Demikianlah kalau itu ditempatkan sebagai tes, sebagai ujian, jangan masukkan saya ke dalam tes. Nah dalam tes, dalam ujian itu biasanya ada godaan iblis. Maka kalau ada ujian juga, kadang-kadang ada anak yang tergoda nyontek, ketika dites untuk maju tingkat, untuk naik dalam kehidupan rohani, bisa jadi iblis datang untuk menjatuhkan kita. Dalam konteks itulah, ‘jangan masukkan kami ke dalam pencobaan’, jangan masukkan kami ke dalam tes  yang di mana iblis bisa menjatuhkan kami. Maka doa itu adalah permohonan belas kasih Ilahi agar kita dibebaskan dari godaan di tengah pencobaan yang harus kita lakukan.

Saudara saudari yang terkasih,
marilah kita doakan doa Bapa Kami dengan penghayatan setiap hari, sebagai model doa yang lain. Doa tidak bisa lepas dari hidup nyata, kalau orang suka berdoa, tapi acuh tak acuh terhadap penderitaan sesama atau malah membuat orang lain sengsara, doanya perlu dipertanyakan. Maka Yesus menutup doa Bapa Kami dengan Sabda, “jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahan.

5 Juli 2020 Minggu Pekan Biasa XIV

Homili Mgr Antonius Subianto Bunjamin, OSC Misa Hari Minggu Biasa XIV 5 Juli 2020 Gereja Santo Petrus Katedral Bandung video :  Min...